Selasa, Agustus 16, 2016

Aku Memutuskan Gak Pergi, Bu….

Cerita ini terjadi di tahun 2005. Saat itu anak sulungku, Lia baru diterima di kelas 1 SMA N 3 dan baru sekitar 1 bulan sekolah di situ. Aku sudah agak lupa bagaimana koran Pikiran Rakyat itu ada di tanganku, sepertinya sih kubeli di jalan karena di rumah kami melanggan Harian Republika bukan Pikiran Rakyat..
Hari itu koran PR itu kok ya kubaca lembar demi lembar semuanya sampai berita duka citanya...Dari situlah kubaca pengumunan dari MOE (Minister of Education) nya Republik Singapura yang menawarkan beasiswa untuk bersekolah dua tahun di kelas terakhir setingkat SMP (Secondary) untuk dapat mengikuti ujian GCE ‘O’ Level dan dilanjutkan dua tahun setingkat SMA (Pre University) untuk dapat mengikuti ujian GCE ‘A’ Level di Singapura. Jadi ceritanya yang diterima di program beasiswa ini di Singapura akan masuk ke Secondary 3 (kelas 3 SMP, berarti bagi Lia mengulang karena saat itu dia sudah kelas 1 SMA), lalu dilanjut tahun depannya di Secondary 4 (kelas 4 SMP). Di sini dia akan mengikuti ujian GCE ‘O’ level (GCE = General Certificate of Education). Bila nilainya bagus, penerima beasiswa akan lanjut sekolah di Pre University (setara SMA). Pada akhir tahun kedua di Pre University penerima beasiswa akan diikutkan ujian GCE ‘A ‘ Level (GCE Advance).
Bunyi pengumuman itu penerima beasiswa akan menerima ‘free tuition’, free dormitory, ada stipend (uang saku) tahunan, fasilitas kesehatan  dll. Formulir pendaftaran program ini juga mudah diperoleh dan seterusnya.
Waktu iku iseng-iseng kuminta Lia membaca pengumuman itu. Awalnya dia cuek tidak tertarik. Ketika kubilang, ada kalanya kita perlu mencoba yang beginian mbak, untuk tahu kira-kira dimana tempatmu untuk seleksi yang beginian... Lia menjawab yuk coba saja bu...
Singkat cerita kami berdua, aku dan Lia  mengisi form pendaftaran beasiswa itu untuk Lia. Persyaratan administrasinya kita kirimkan. Dan kita woro-woro ke teman-teman Lia dan keponakan-keponakan yang mau mencoba. Dua minggu setelah mengirim aplikasi datanglah panggilan untuk test di Jakarta. Bersama Lia, keponakanku, Rani, dipanggil test juga. Jadilah hari (20 Agustus 2005) itu aku, suami dan kakakku mengantar Lia dan Rani test seleksi beasiswa itu di Hotel JW Marriot Jakarta. Test nya berupa test tertulis dengan materi test matematika (in English) dan bahasa Ingrris, dari jam 10.30 sampai jam 16.00. Peserta test tumplek blek di Hotel Marriot hari itu. Kata kakakku yang sempet ngobrol dengan panitianya, katanya peserta hari ini lebih dari 1000 orang. Test selesai, Lia, aku dan suamiku tidak ada beban sama sekali, sesuai tujuan kami di awal kita pengin coba kalo seleksi begini anak kita bisa dapat tempat gak.
Tiga minggu sesudah test itu ada surat pemberitahuan kalau Lia harus mengikuti test wawancara di Hotel Le Meredien Jakarta pada tanggal 25 September 2005. Undangan wawancara ini mempengaruhi aku dan Herlan, suamiku. Herlan yang tadinya tidak punya wacana jadi rajin browsing tentang pendidikan di Singapura. Dia jadi begitu bersemangat begitu mengetahui. bahwa sistem pendidikan di sana bagus dan lulusan GCE ‘A’ Levelnya dapat langsung diterima di universitas di luar negeri tanpa test (cukup melihat score di GCE ‘A’ levelnya saja). Dia berharap Lia diterima di program beasiswa ini. Sedangkan aku, lain lagi yang kupikirkan. Aku mengangankan kelak anak-anakku pada bisa beasiswa dan kuliah di luar negeri. Yang kuangankan adalah kuliah S2 atau S1, bukan SMA sudah di luar negeri. Kulihat Lia, dia cukup mandiri tetapi kalau sekarang rasanya terlalu dini untuk jauh dari rumah. Jadi panggilan wawancara yang membuat Herlan sangat antusias ini malah membuatku was-was dan khawatir. Yang bersangkutan, Lia, sepertinya cuek saja. Karena masih harus wawancara, kusimpan semua kekhawatiranku.
Pada hari wawancara kami hanya bertemu dengan salah satu kandidat yang juga diantar oleh orang tuanya. Keluarga Cina itu datang dari Surabaya. Dari mereka kami jadi tahu bahwa yang dipanggil wawancara hanya 45 orang. Wawancaranya ada waktu atau jam yang spesifik. Itulah sebabnya mereka baru datang mendekati jam wawancaranya, dan membuat kita tidak saling bertemu. Dari mereka juga kita mengetahui bahwa dari wawancara ini akan diambil 20 orang penerima beasiswa. Lia sudah diwawancara, dan pulanglah kami ke Bandung lagi. Aku dengan rasa khawatir yang kusimpan rapat.
Hari berlalu, sudah saatnya kutanya Lia tentang kesiapannya berangkat bila dia diterima. Jawabannya agak mengejutkanku. Gak tau bu, aku kan belum pernah ke sana. Kusampaikan jawaban Lia itu ke suamiku. Herlan masih berbesar hati, kalau dia diterima nanti pasti Lia akan lebih siap, kata Herlan. Tiap kali kuingatkan tentang siap gak sekolah di Singapura, Lia sepertinya malah menghindar dan gak mau ngomongin hal itu lagi.
Kubayangkan kalau Lia saat ini harus sudah jauh dari rumah. Kalo untuk sekolah, aku rela dan siap. Tapi untuk jauh dari rumah aku ragu-ragu, kenapa? Karena aku belum mempersiapkannya untuk jauh dari rumah. Aku barangkali telat mengajarinya...
Awal bulan Oktober 2005 datanglah surat itu...Lia adalah salah satu dari 18 orang yang lolos seleksi penerima beasiswa dari MOE nya Republik Singapura. Kabar itu adalah kabar gembira bagi Herlan yang pengin anak-anak kami nanti sekolahnya harus lebih dari kami berdua. Sedangkan aku bingung antara senang dan galau. Lia sendiri, datar saja malah cenderung tidak peduli.
Penerima beasiswa harus memberikan konfirmasi mau mengikuti program beasiswa ini ataukan tidak. Bila ya langkah selanjutnya adalah mengikuti pemeriksaan kesehatan dan pada akhir Oktober 2005 berangkat ke Singapura mulai persiapan bahasa dan memilih sekolah yang akan diikuti.
Herlan mulai menampakkan rasa khawatir ketika Lia keliahatan tidak antusias. Jawabnya awalnya pendek-pendek, sekolahnya di mana, temannya siapa saja, tinggalnya dimana, liburnya kapan, dst... Bapaknya cukup sabar menjelaskan segalanya sampai keuntungan bisa sekolah di sana dst. Selanjutnya Lia mulai menjawab aku sudah seneng sekolah di sini, dulu kan katanya kita cuma coba-coba saja dst...
Herlan memintaku untuk membujuk dan menasehati agar Lia mantab berangkat. Tapi aku sangat tau Lia, ada bagian yang membuat dia tidak nyaman dengan berangkat. Aku akan mendorong anakku untuk mengejar yang diinginkannya, asalkan diapun sepenuh hati melakukannya. Kalau cuma setengah hati, ragu-ragu, aku tidak sanggup. Ibaratnya aku dan suami hanyalah supporter, fasilitator, yang barangkali bisa menjadi bagian kesuksesannya. Tapi semangat Lia sendiri akan menjadi bagian besar penentu keberhasilan studinya.
Lia masih belum memberikan jawabannya, mau berangkat atau tidak. Saat itu Herlan ngantor di Jakarta. Hanya Sabtu Minggu dia pulang ke Bandung. Sampai kami makan malam di hari Minggu itu Lia belum kasi keputusan. Malam itu sambil berbaring Herlan bilang, begitu banyak orang menginginkannya tapi tidak diterima, anak kita diterima tapi seperti gak menginginkannya. Kita sudah sampai di sini, kita berdua tidak pernah sekolah di luar negeri. Semoga anak-anak kita kelak pada bisa sekolah dimanapun mereka menginginkannya. Aku speechless, kejepit di tengah-tengah. Kalau Lia gak jadi berangkat aku tau Herlan kecewa. Tapi kalau kubujuk Lia berangkat, aku khawatir ‘pemaksaan’ ini berakibat yang tidak baik bagi keberhasilan studinya. Kami tidur dengan pikiran kami masing-masing malam itu.
Senin subuh itu Herlan sudah bersiap-siap berangkat ke Jakarta (waktu itu Tol Cipularang belum ada jadi ke Jakarta harus lewat Puncak, sebelum subuh kudu sudah berangkat supaya jam 8 pagi sudah ada di kantor Jakarta). Ketika kutanya, Lia perlu kubangunkan? Herlan menjawab, gak usah, nanti pas sarapan tolong ibu tanyakan dia mau berangkat apa tidak. Kalau gak berangkat tanyain apa alasannya. Tadi malam bapak shalat malam, bapak sudah bisa menerima mbak Lia berangkat atau tidak. Bapak tidak mau dia berangkat dengan setengah hati. Pasti ada hikmahnya bagi kita semua... Rasanya plong banget suamiku  memiliki pemikiran begitu. Pemikiran itu datang sendiri bukan karena kuingatkan.  Aku senang dan bangga padanya. Kujanjikan apapun keputusan Lia pagi ini akan segera kuberitahukan padanya, karena dia yang harus ngefax surat konfirmasi ke MOE Singapura, menerima atau menolak beasiswa tersebut.
Pagi itu sebelum sarapan, di meja makan Lia berkata padaku, Bu, sudah kupikirkan baik-baik semalam, aku memutuskan gak pergi bu. Aku mau SMA di sini saja sampai lulus baru cari perguruan tinggi, gimana nanti. Tolong ya bu sampaikan ke Bapak nanti. Bapak gak marah to bu? Aku tersenyum, dan menjawab. Gak mbak, bapak gak marah. Boleh ibu tau, alasannya apa mbak memutuskan gak pergi? Lia mantab menjawab, sekarang aku belum bisa jauh dari ibu.... Aku sungguh merasa menjadi bagian penyebab ketidaksiapan anakku jauh dari rumah itu...
Pagi itu setelah anak-anak berangkat sekolah kutelpon Herlan dan kuberitahukan jawaban Lia. Aku masih mendengar nada kecewa di suaranya tapi kemudian dia semangat lagi. Ok bu sampai kantor akan bapak fax MOE Singapura kalau anak kita menolak beasiswanya.....
Seminggu sesudahnya pas berbaring berdua kukatakan, lesson of learn nya barangkali keinginan itu harus datang dulu dari anak-anak baru kita kasi fasilitasnya. Jangan kita fasilitasi sebelum mereka minta atau datang minat. Gampangnya jangan kita yang yang narik mereka dari depan, tapi seperti falsafah kita harus tutwuri, mendorong dari belakang. Kalau biasa ditarik dari depan kalau kita yang narik sudah capai mereka akan berhenti karena tidak tahu arah. Tapi kalau kita tutwuri dari awal merekalah yang cari arah sendiri. Kalau kita capai mendorongnya mereka tidak akan ikut berhenti kareana dari awal merekalah yang cari arah sendiri. Herlan mengiyakan. Tapi sedetik kemudian dia sudah ngomong, kemarin bapak ngeliat clavinova yang baru. Bapak mau beli biar Lia bisa mainin di rumah. Aku speechless, lha Lia kan gak minta dibeliin piano, jangan dulu beli piano. Barusan ibu bilang apa...Herlan enteng menjawab, gak papa dulu sudah bilang pengin kok, kalo kita beliin dia akan main..... Aku gak berkata apa-apa lagi. Seminggu kemudia Clavinova itu sudah distem di ruang tengah kami dan sepulang sekolah Lia sudah memainkan lagu kesukaannya di situ.
Dan kami mulai melupakan episode beasiswa itu sampai ketika kakak adik kami mengingatkan, kalian sih yang kurang memberi wawasan pada anak-anakmu tentang luar negeri. Singapura tu kan dekat banget dengan kita, mudah dikunjungi, bahasa juga banyak sama, jauh lebih maju. Kalau gak kalian kenalin gimana anak-anakmu mau sekolah di situ, tau aja enggak...

Nasihat mereka kayak setrum deh. Bener juga ya...kurang wawasan membuat anakku takut berangkat, takut jauh dari rumah. Jadilah awal tahun 2006 kami sekeluarga ke Singapura, mengenal negeri tetangga yang kemarin menawarkan beasiswa itu. Alhamdulillaah ada kemajuan...Akbar bilang aku mau sekolah di sini bu...kayaknya enak....

Tidak ada komentar: