Minggu, Agustus 14, 2016

Pakde Parno

Hari minggu ini aku ingin mengenang Pakde Parno. Pakde itu sebutan orang Jawa untuk kakak laki-laki dari ayah atau ibu kita. Ya Pakde Parno ini adalah kakak kandung dari almarhum papiku. Seingatku, Pakde Parno tinggal bersama keluargaku sepanjang hidupnya. Ada satu kamar di rumahku yang menjadi kamar Pakde Parno.
Pakde Parno tidak pernah menikah. Beliau tinggal bersama kami. Ibuku yang menyediakan makan untuknya, mencuci bajunya, mengantar ke dokter, bahkan kadang memandikannya. Ya, Pakde Parno memang sakit. Kalau kutanya ibu, Pakde sakit apa, ibu gak bisa menjelaskannya. Yang jelas Pakde selalu gemetar, jalannya pelan, tidak bisa bekerja mencari nafkah.
Rutinitas hidupnya yang ada dalam ingatanku adalah bangun pagi, ibuku sudah menyediakan minum dan sarapannya di kamar beliau. Kemudian Pakde mandi dan membawa baju kotornya di tempat cucian untuk dicuci ibuku. Pakde tidak bisa mandi yang bersih karena badannya yang selalu gemetar. Kadang dia mengompol bahkan berak di celana dan membawa celana kotornya melewati kami di ruang makan saat kami sarapan mau berangkat ke sekolah, menyebarkan ‘aroma’ yang membuat kami hilang selera makan. Abis sarapan Pakde cuma berbaring di kamarnya atau kadang jalan-jalan di sekitar rumah kami atau kadang pengin jalan keluar rumah. Sisanya Pakde hanya berbaring, makan minum dan tidur. Aku, kakak dan adik-adikku sering mendatangi kamarnya terutama bila terdengar Pakde tertawa sendiri, kami sering usil bertanya, pakde kenapa tertawa sendiri. Pakde suka menjawab, ingat masa lalu. Kami tambah usil, ingat pacar Pakde ya? Kata Ibu Pakde dulu punya pacar yang cantik....Pakde Parno  hanya tertawa dan menyuruh kami pergi dari kamarnya. Ibuku suka marah kalau tahu kami mengganggu Pakde.
Aku dulu sering kasihan kalau melihat Pakdeku itu. Pernah suatu ketika siang hari Pakde memanggilku minta rambutnya disisir dengan ‘serit’, ini sisir yang sangat rapat sehingga bila ada kutu di rambut akan terbawa turun saat serit itu disisirkan turun dari rambut. Kata Pakde rambutnya banyak kutunya. Padahal rambut pakde tipis dan pendek masa ada kutunya, pikirku. Tapi kuambilkan juga serit itu. Pakde minta aku menyisirnya. Dengan adikku kuminta Pakde duduk dan kepalanya menunduk di meja, lalu kusisir rambutnya dengan serit. Di luar dugaan banyak sekali kutu rambut yang berjatuhan dari sisir serit dan jatuh di taplak meja yang putih. Tiap kali ada kutu yang jatuh adikku memencetnya dengan kuku sehingga kutu itu mati dan taplak meja kami jadi berbercak merah-merah karena darah kutu. Tahun 70 an memang banyak sekali rambut yang berkutu. Kutu ini nyebrang dari rambut satu ke rambut orang lain. Untuk membasminya kami semua harus keramas dengan shampo yang ada obat kutunya. Ketika ibu melihat kami menyisir Pakde, sorenya ibu memandikan pakde, mengeramasinya dengan obat kutu. Sore itu sehabis mandi Pakde tersenyum mengucapkan terima kasih padaku, pada adikku dan pada ibuku.
Pernah suatu ketika Pakde pamit jalan-jalan dan tidak pulang-pulang. Memang Pakde suka lupa jalan. Kami semua panik dan dengan instruksi ibuku kami mencari ke berbagai arah, akhirnya Pakde ketemu di dekat pasar. Katanya dia tadi lupa jalan pulang, setelah diingat-ingatnya akhirnya dia ingat dan lagi jalan pulang pas pegawai ibuku menemukannya. Kadang susah meminta Pakde tidak pergi ke luar  rumah. Itu hiburannya satu-satunya. Tapi sejak kejadian dia hilang itu, kami semua lebih memasang mata terhadapnya. Kadang lebih sulit lagi bila pakde pengin pergi sambil naik sepeda. Ibuku melarangnya karena takut dia jatuh mengingat Pakde yang selalu gemetaran. Tapi kadang Pakde tidak menurut. Pernah juga pulang dari jalan-jalan Pakde memberikan ibuku uang coin 5 rupiahan. Katanya tadi dia lama berdiri di depan toko yang jual arloji, dia ingin lihat-lihat arloji baru, gak tahunya ada orang mendekatinya dan memberikan uang coin 5 rupiah itu karena dikiranya Pakde adalah pengemis. Dan Pakde menerimanya....Ibuku gusar, katanya, lain kali jangan diterima ya mas, mas itu orang berpunya, berkecukupan, punya keluarga yang menyantuni, bukan pengemis. Pakde hanya tertawa saja. Kami, anak-anak ibuku juga tertawa...
Suatu ketika adikku Tatik yang masih bayi, demam dan step atau kejang. Ibuku berteriak agar kami membantunya mengambil air yang akan diguyurkan ke kepala Tatik. Saat itu Pakde dengan gerakan lambannya juga ikut bolak balik mengambil air dalam gelas dan menyerahkan ke ibuku. Begitu adikku sudah tidak kejang, Pakde sudah siap dengan handuk kecil dan berinisiatif mengelap kepala adikku yang basah sesudah diguyur air itu. Ibuku dengan sisa paniknya kulihat berlinang air mata berterima kasih pada Pakde Parno. Kadang kalau diantara kami ada yang sakit dengan segala keterbatasannya Pakde suka menjenguk kami di tempat tidur dan menanyakan bagaimana keadaan kami. Dia peduli.
Sesudah aku kuliah, aku tahu yang diderita Pakdeku adalah penyakit Parkinson, yang mungkin  dulu belum ada obatnya yang efektif. Kondisi kesehatan pakde juga naik turun. Suatu ketika papiku, seorang guru SMA, sedang diperbantukan ke pemerintah Malaysia menjadi tenaga pengajar  SMA di Malaka. Jadi ibuku dengan 7 anaknya ditinggal di rumah kami bersama Pakde Parno. Dan aku ingat saat kondisi kesehatan Pakde memburuk, ibu merawatnya. Aku sering melihat ibu menangis mengelus-elus Pakdeku dan berkata, mas Parno jangan meninggalkan kami semua sebelum bapaknya anak-anak pulang ke Indonesia. Itu diucapkan ibuku berulang-ulang. Dan anehnya pakde yang menurut kami sakitnya sudah parah banget itu jadi kembali sehat. Dan itu terjadi beberapa kali.
Papiku selesai tugas mengajarnya (sesudah 4 tahun mengajar di Malaka) dan seterusnya pulang ke Solo. Tidak lama sesudah itu Pakde jatuh sakit lagi, dan memburuk. Hingga akhirnya wafat saat aku kelas 1 SMP tahun 1977. Kata ibu, Pakde dengan tulus berterima kasih pada ibu karena sudah merawatnya. Hanya itu yang bisa diucapkan Pakde karena sakitnya memang sudah parah sebelum wafat itu.
Ada dua alasan kenapa aku ingin mengenang Pakde Parno di postingku kali ini. Yang pertama mengingatkan aku sendiri, kewajiban kitalah, anggota keluarga  untuk merawat saudara kita (apalagi orangtua kita) yang kondisinya seperti Pakdeku itu. Yang kedua mengingatkan lagi kalau kita kerja dengan cinta (hati) maka kita juga akan dapat cinta (hati). Ibu dan kami anak-anaknya merawat Pakde dengan hati makanya Pakde pun memberikan hatinya pada kami. Dalam segala keterbatasannya beliau menunjukkan punya hati pada kami semuanya....
Semoga Allah mengampunimu dan menjadikan sakitmu sebagai penghapus dosa-dosamu Pakde Parno....


Tidak ada komentar: