Hari
minggu ini aku ingin mengenang Pakde Parno. Pakde itu sebutan orang Jawa untuk
kakak laki-laki dari ayah atau ibu kita. Ya Pakde Parno ini adalah kakak
kandung dari almarhum papiku. Seingatku, Pakde Parno tinggal bersama keluargaku
sepanjang hidupnya. Ada satu kamar di rumahku yang menjadi kamar Pakde Parno.
Pakde
Parno tidak pernah menikah. Beliau tinggal bersama kami. Ibuku yang menyediakan
makan untuknya, mencuci bajunya, mengantar ke dokter, bahkan kadang
memandikannya. Ya, Pakde Parno memang sakit. Kalau kutanya ibu, Pakde sakit
apa, ibu gak bisa menjelaskannya. Yang jelas Pakde selalu gemetar, jalannya
pelan, tidak bisa bekerja mencari nafkah.
Rutinitas
hidupnya yang ada dalam ingatanku adalah bangun pagi, ibuku sudah menyediakan
minum dan sarapannya di kamar beliau. Kemudian Pakde mandi dan membawa baju
kotornya di tempat cucian untuk dicuci ibuku. Pakde tidak bisa mandi yang
bersih karena badannya yang selalu gemetar. Kadang dia mengompol bahkan berak
di celana dan membawa celana kotornya melewati kami di ruang makan saat kami
sarapan mau berangkat ke sekolah, menyebarkan ‘aroma’ yang membuat kami hilang
selera makan. Abis sarapan Pakde cuma berbaring di kamarnya atau kadang
jalan-jalan di sekitar rumah kami atau kadang pengin jalan keluar rumah.
Sisanya Pakde hanya berbaring, makan minum dan tidur. Aku, kakak dan
adik-adikku sering mendatangi kamarnya terutama bila terdengar Pakde tertawa
sendiri, kami sering usil bertanya, pakde kenapa tertawa sendiri. Pakde suka
menjawab, ingat masa lalu. Kami tambah usil, ingat pacar Pakde ya? Kata Ibu
Pakde dulu punya pacar yang cantik....Pakde Parno hanya tertawa dan menyuruh kami pergi dari
kamarnya. Ibuku suka marah kalau tahu kami mengganggu Pakde.
Aku
dulu sering kasihan kalau melihat Pakdeku itu. Pernah suatu ketika siang hari
Pakde memanggilku minta rambutnya disisir dengan ‘serit’, ini sisir yang sangat
rapat sehingga bila ada kutu di rambut akan terbawa turun saat serit itu
disisirkan turun dari rambut. Kata Pakde rambutnya banyak kutunya. Padahal
rambut pakde tipis dan pendek masa ada kutunya, pikirku. Tapi kuambilkan juga
serit itu. Pakde minta aku menyisirnya. Dengan adikku kuminta Pakde duduk dan
kepalanya menunduk di meja, lalu kusisir rambutnya dengan serit. Di luar dugaan
banyak sekali kutu rambut yang berjatuhan dari sisir serit dan jatuh di taplak
meja yang putih. Tiap kali ada kutu yang jatuh adikku memencetnya dengan kuku
sehingga kutu itu mati dan taplak meja kami jadi berbercak merah-merah karena
darah kutu. Tahun 70 an memang banyak sekali rambut yang berkutu. Kutu ini
nyebrang dari rambut satu ke rambut orang lain. Untuk membasminya kami semua harus
keramas dengan shampo yang ada obat kutunya. Ketika ibu melihat kami menyisir
Pakde, sorenya ibu memandikan pakde, mengeramasinya dengan obat kutu. Sore itu
sehabis mandi Pakde tersenyum mengucapkan terima kasih padaku, pada adikku dan
pada ibuku.
Pernah
suatu ketika Pakde pamit jalan-jalan dan tidak pulang-pulang. Memang Pakde suka
lupa jalan. Kami semua panik dan dengan instruksi ibuku kami mencari ke
berbagai arah, akhirnya Pakde ketemu di dekat pasar. Katanya dia tadi lupa
jalan pulang, setelah diingat-ingatnya akhirnya dia ingat dan lagi jalan pulang
pas pegawai ibuku menemukannya. Kadang susah meminta Pakde tidak pergi ke luar rumah. Itu hiburannya satu-satunya. Tapi
sejak kejadian dia hilang itu, kami semua lebih memasang mata terhadapnya.
Kadang lebih sulit lagi bila pakde pengin pergi sambil naik sepeda. Ibuku
melarangnya karena takut dia jatuh mengingat Pakde yang selalu gemetaran. Tapi
kadang Pakde tidak menurut. Pernah juga pulang dari jalan-jalan Pakde
memberikan ibuku uang coin 5 rupiahan. Katanya tadi dia lama berdiri di depan
toko yang jual arloji, dia ingin lihat-lihat arloji baru, gak tahunya ada orang
mendekatinya dan memberikan uang coin 5 rupiah itu karena dikiranya Pakde
adalah pengemis. Dan Pakde menerimanya....Ibuku gusar, katanya, lain kali
jangan diterima ya mas, mas itu orang berpunya, berkecukupan, punya keluarga
yang menyantuni, bukan pengemis. Pakde hanya tertawa saja. Kami, anak-anak
ibuku juga tertawa...
Suatu
ketika adikku Tatik yang masih bayi, demam dan step atau kejang. Ibuku
berteriak agar kami membantunya mengambil air yang akan diguyurkan ke kepala
Tatik. Saat itu Pakde dengan gerakan lambannya juga ikut bolak balik mengambil
air dalam gelas dan menyerahkan ke ibuku. Begitu adikku sudah tidak kejang,
Pakde sudah siap dengan handuk kecil dan berinisiatif mengelap kepala adikku
yang basah sesudah diguyur air itu. Ibuku dengan sisa paniknya kulihat
berlinang air mata berterima kasih pada Pakde Parno. Kadang kalau diantara kami
ada yang sakit dengan segala keterbatasannya Pakde suka menjenguk kami di
tempat tidur dan menanyakan bagaimana keadaan kami. Dia peduli.
Sesudah
aku kuliah, aku tahu yang diderita Pakdeku adalah penyakit Parkinson, yang
mungkin dulu belum ada obatnya yang
efektif. Kondisi kesehatan pakde juga naik turun. Suatu ketika papiku, seorang
guru SMA, sedang diperbantukan ke pemerintah Malaysia menjadi tenaga pengajar SMA di Malaka. Jadi ibuku dengan 7 anaknya
ditinggal di rumah kami bersama Pakde Parno. Dan aku ingat saat kondisi
kesehatan Pakde memburuk, ibu merawatnya. Aku sering melihat ibu menangis
mengelus-elus Pakdeku dan berkata, mas Parno jangan meninggalkan kami semua sebelum
bapaknya anak-anak pulang ke Indonesia. Itu diucapkan ibuku berulang-ulang. Dan
anehnya pakde yang menurut kami sakitnya sudah parah banget itu jadi kembali
sehat. Dan itu terjadi beberapa kali.
Papiku
selesai tugas mengajarnya (sesudah 4 tahun mengajar di Malaka) dan seterusnya
pulang ke Solo. Tidak lama sesudah itu Pakde jatuh sakit lagi, dan memburuk.
Hingga akhirnya wafat saat aku kelas 1 SMP tahun 1977. Kata ibu, Pakde dengan
tulus berterima kasih pada ibu karena sudah merawatnya. Hanya itu yang bisa
diucapkan Pakde karena sakitnya memang sudah parah sebelum wafat itu.
Ada
dua alasan kenapa aku ingin mengenang Pakde Parno di postingku kali ini. Yang
pertama mengingatkan aku sendiri, kewajiban kitalah, anggota keluarga untuk merawat saudara kita (apalagi orangtua
kita) yang kondisinya seperti Pakdeku itu. Yang kedua mengingatkan lagi kalau
kita kerja dengan cinta (hati) maka kita juga akan dapat cinta (hati). Ibu dan
kami anak-anaknya merawat Pakde dengan hati makanya Pakde pun memberikan
hatinya pada kami. Dalam segala keterbatasannya beliau menunjukkan punya hati
pada kami semuanya....
Semoga
Allah mengampunimu dan menjadikan sakitmu sebagai penghapus dosa-dosamu Pakde
Parno....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar