Rabu, September 30, 2009

Sendratari Ramayana

Kalau mendengar Sendratari Ramayana, apa yang terbayang di benak anda? Ya, pasti suatu seni gerak dan tari yang menceritakan kisah Rama Sinta. Nah yang aku maksud di judul postingku ini adalah sendratari Ramayana yang digelar selama 4 malam berturutan di candi Prambanan saat bulan sedang purnama. Aku jadi pengin menulis tentang ini karena pas kemarin mudik ke Solo, lewat Prambanan malam-malam, aku jadi ingat pengalamanku dulu jadi salah satu pendukung sendratari tersebut selama berbulan-bulan.

Adalah guru kesenianku di SMP Negeri 4 Solo (Ibu Suyuti, seandainya beliau masih ’sugeng’ / hidup semoga Allah memberinya kesehatan yang baik) yang mula-mula mengajakku berlatih menari di ndalem Sosromijayan, Njero Mbeteng Solo. Kalo nggak salah tiap hari Selasa/Kamis, sore hari aku dan kakakku, mbak Ninik, bersepeda ke ndalem Sosromijayan, untuk berlatih menari Jawa. Teman sekolahku yang ikut berlatih antara lain Tutuk (Kusmartinjung Probo Nugroho) dan Dyah Qwartina (sekarang di Telkom Datel Malang). Sedang temen mbak Ninik yang ikut latihan adalah mbak Citra dan mbak Teki. Di ndalem Sosromijayan kami berlatih 4 buah tarian yang memang jadi jatah kami dalam sendratari Ramayana itu, yaitu tari jin,mina (ikan), api dan parkan Sinta. Sementara penari yang lebih senior juga berlatih tarian yang menjadi bagian mereka masing-masing, seperti penari Rama, Sinta, Rahwana, Laksmana, Trijatha, Anoman, Karna, dll.

Pada tahun 1976-1979, saat kejadian yang kuceritakan ini berlangsung, tim yang berlatih menari di ndalem Sosromijayan itu adalah tim yang ditunjuk
untuk mengisi sendratari Ramayana setiap bulan purnama, 4 malam berurutan. Sebenarnya tidak hanya tim tersebut tapi ada satu tim lagi dari daerah prambanan dengan jumlah personil yang cukup banyak tapi tidak perlu banyak berlatih serius. Mengapa? Karena tarian yang mereka bawakan lebih sering bersifat spontanitas dan improvisasi, lebih banyak berjumpalitan, melompat dan berguling-guling yang boleh semau-maunya. Mereka menarikan rombongan kera dan raksasa.

Dalam setiap bulan, aku dan mbak Ninik bisa dapat jatah 2-4 malam menari di panggung. Setiap malam manggung ada judul ceritanya. Malam pertama dan kedua aku lupa judulnya, tapi yang jelas bercerita tentang awal diculiknya Sinta oleh Rahwana dan awal pencarian oleh Rama. Malam ketiga berjudul Rama Tambak, yang bercerita usaha Rama membendung lautan agar dapat menyeberang ke Alengka. Malam keempat berjudul Sinta Obong yang bercerita tentang dibakarnya Sinta untuk menunjukkan bahwa dirinya masih suci dari jamahan Rahwana.

Bila kebagian 4 malam manggung biasanya aku menari parkan Rahwana (malam 1), menari jin (malam 2), menari parkan Sinta atau mina (malam 3) dan menari sebagai api (malam4). Dintara tarian itu yang paling berat kalau menari parkan Sinta. Parkan berarti pelayan jadi paling berat menari sebagai pelayan Sinta. Soalnya ini adalah tari putri, dengan gerakan lambat, kostumnya kain jarik panjang yang ribet (bandingkan dengan tari api, mina dan jin yang pake celana sedengkul), rambutnya dikonde lagi. Belum lagi berada di panggungnya lama dan harus menguasai blocking panggung, banyak adegan menangis dengan posisi jongkok jadi pegelnya minta ampun, banyak dishoot oleh lampu jadi kalau salah gerak ketahuan banget sama penonton. Paling enak kalau kebagian menari parkan Rahwana, sebenarnya itu bukan menari tapi hanya mejeng alias pemain figuran. Habis dengan kostum pelayan yang membawa segala makanan si raja raksasa Rahwana, masuk panggung berbaris mengikuti Rahwana, lalu duduk seperti pager ayu di ujung pintu keluar panggung. Ya sudah, duduk dan ikut nonton adegan yang terjadi di panggung, kalau bosan bisa ngobrol dengan sesama parkan Rahwana. Kalau si juragan Rahwana keluar dari panggung, baru kita berbaris lagi di belakangnya ikut keluar. Sedangkan tari jin, mina dan api merupakan tarian massal dengan gerak serempak dan kostum yang ’agak santai’ berupa celana sedengkul dan rambut terurai tapi memakai jamang (ikat kepala). Sesuai namanya tari jin itu menari sebagai jin, makhluk halus yang mengganggu Rama/Laksmana yang sedang bertapa. Sedangkan tari mina(=ikan) itu menari tentang ikan yang menderita karena lautannya dikeringkan oleh Rama agar dia dan pasukan kera dapat menyerbu Alengka. Setelah datang dewa Baruna, barulah air laut dikembalikan lagi dan para ikan hidup normal kembali. Pada tari api kami berperan sebagai api yang membakar tubuh Sinta, dengan kostum merah cerah yang membuat panggung menyala di malam terakhir pertunjukan.

Pada malam manggung biasanya kami harus sudah berkumpul di ndalem Sosromijayan sesudah Ashar. Jam setengah empat sore dengan dua buah bis (namanya bis ’PENI’) kami berangkat. Menjelang magrib kami sampai di Prambanan. Sesudah shalat magrib, kami mulai berdandan. Tau nggak tim periasnya? Mereka adalah ibu-ibu sepuh yang pantas jadi nenekku. Pada awal ikut manggung, aku menyerahkan diriku untuk dirias oleh mereka. Hasil riasan yang bagaimanapun aku terima. Setelah beberapa bulan aku mulai belajar merias mukaku sendiri dibantu temen-temanku. Untuk kostum kami memang harus bisa memakainya sendiri, juga dibantu sesama teman. Aku hanya menyerahkan kepalaku pada ibu perias bila aku kebagian menari parkan Sinta, karena memang aku nggak bisa pasang konde sendiri. Sekitar jam setengah delapan pertunjukan dimulai. Ibu Suyuti dibantu suaminya selalu mengingatkan kita untuk siap di belakang panggung tepat pada waktunya agar semua adegan berlangsung sesuai skenario. Bila jatah tarian kita kelar, kita dapat berganti kostum, menghapus riasan, mengembalikan kostum kita pada yang bertugas dan ke bagian administrasi untuk menerima honor. Berapa honornya? Awal aku bergabung di sekitar tahu 1977, honor menari itu hanya Rp 600,- setiap malam. Tidak peduli kita menari sebagai Rama yang serius , parkan Rahwana yang cuma figuran atau pasukan kera/raksasa yang pegel badannya karena berkali-kali berguling, honornya rata, Rp 600,- per kepala per malam. Honor ini naik sedikit demi sedikit, honor terakhir yang aku terima di tahun 1979 adalah Rp 1250,-. Kalau sudah terima honor di tengah pertunjukan biasanya aku dan mbak Ninik ikut duduk di tempat penonton dan mengikuti sisa adegan selanjutnya. Bila pagelaran selesai, sambil menunggu teman-teman yang lain berganti kostum, kami menunggu di dalam bis PENI atau jajan makanan di sekitar itu. Jam setengah sepuluh malam kami meluncur kembali ke Solo. Di dalam bis seringkali terjadi guyonan tentang aksi panggung malam tadi. Biasanya ini karena aksi spontanitas di panggung. Misalnya si tukang kendang yang nggerundel tentang si pemain Anoman yang nggak cepet bergerak meskipun si kendang sudah ngajak. Atau sebaliknya cengengesan gaya Tukul, si tukang kendang sengaja membuat penari melakukan gerakan yang sama berkali-kali sehingga si penari mengerling dan mengancam akan membalasnya di belakang panggung. Dalam gamelan Jawa, kendang memang berfungsi sebagai pengatur irama, mau cepet atau lambat, kendanglah komandonya. Ritme ini diikuti penari. Jadi kalau tukang kendangnya sinting banyak kejadian di panggung yang bisa terjadi di luar skenario. Jam sebelas malam sampai di ndalem Sosromijayan, papiku sudah menjemput aku dan mbak Ninik dengan vespa tuanya.

Begitu sudah di SMA aku tidak lagi bergabung dengan tim sendratari Ramayana itu. Aku nggak ingat sebabnya, tapi kemungkinan adalah aku jarang berlatih. Jatah manggung memang diprioritaskan bagi yang rajin berlatih. Ini berlaku bagi penari junior seperti aku atau penari-penari senior pemeran Rama, Laksmana, Sinta, Trijatha dan lain –lain.

Ada hal-hal positif yang dapat aku ambil dengan bergabung dengan para seniman tari itu. Mereka punya jiwa solidaritas yang tinggi, perasaan mereka pada umumnya halus, sehingga sering dari adegan tari terbawa ke hati jadi cinta lokasi. Aku tidak tahu dengan panggung baru sekarang ini (tempat aku manggung dulu sudah dipindah ke lokasi baru yasng sekarang ini), tim kesenian mana yang ditunjuk untuk mengisi sendratari Ramayana di candi Prambanan. Apakah masih tim Sosromijayan itu, aku tidak tahu. Semoga pihak-pihak yang berkepentingan masih memelihara budaya menampilkan sendratari ini setiap bulan. Sambil memelihara budaya dapat pemasukan dari turis yang menonton. Panggung terbuka tidak memerlukan AC, (konon tiap malam manggung selalu ada pawang hujan yang bertugas agar hujan tidak turun), di bawah cahaya bulan purnama, menyaksikan kisah cinta Rama Sinta yang melegenda (tapi menurutku berakhir sia-sia).

Secara tidak langsung, menjadi bagian dari sendratari Ramayana memberi manfaat lain bagiku. Aku jadi menyukai menyukai bahasa Inggris dan berani mempraktekkan kemampuan bahasa Inggrisku yang masih minimal untuk berkomunikasi dengan turis bule, menterjemahkan adegan yang sedang berlangsung di panggung, hingga si bule dapat mengikuti jalan ceritanya. Istilahnya menjadi penerjemah nekad alias ’hantem kromo’, he..he.. Tapi dari penerjemah nekad itu, sampai sekarang aku tetap menyukai dan aktif mempergunakan bahasa Inggris untuk menulis dan menyampaikan aspirasi serta perasaanku.

Tidak ada komentar: