Tampilkan postingan dengan label Work and Profession. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Work and Profession. Tampilkan semua postingan

Senin, Agustus 22, 2016

Tren ke 2 dalam ‘Oral Drug Delivery’ : Peningkatan Absorpsi

Posting kali ini adalah lanjutan dari postingku hari Senin kemarin.

Tren ke 2 dalam ‘Oral drug Delivery’  yang ditulis oleh   DR. Jason T. McConville, Research Associate, College of Pharmacy, University Of Texas at Austin di Drug Delivery Report, Autumn/Winter 2005 adalah usaha untuk meningkatkan absorpsi bahan aktif obat terutama untuk bahan aktif obat makromolekular.

Beberapa tipe peningkat permeasi (permeation enhancer) sudah dicoba dalam penelitian dan berbagai mekanisme bagaimana peningkat permeasi itu meningkatkan absorpsi juga sudah diusulkan (silakan browsing Thanou M, Verhoef JC,Junginger HE, 2001. Adv Drug Delivery Rev, 52: 117-126).

Beberapa contoh peningkat absorpsi antara lain:

Surfaktan anionik dan nonionik dapat meningkatkan absorpsi melalui rute transelular dan paraselular. Tetapi dalam beberapa kasus tipe peningkat absorpsi ini dapat menimbulkan kerusakan membran sel yang irreversibel.

 

Beberapa kelas asam amino diketahui meningkatkan absorpsi usus dari heparin dan diperkirakan mekanisme peningkatan absorpsinya adalah dengan memadatkan struktur makromolekular sehingga meningkatkan permeasinya.

Pembentukan kompleks senyawa obat dengan senyawa pengkompleks seperti EDTA, EGTA diketahui dapat meningkatkan absorpsi paraselular dari senyawa yang mengandung ion Ca2+. Mekanisme yang diprediksikan adalah dengan mengurangi adhesi senyawa yang mengandung ion Ca2+ dengan dinding ‘tight juction’.











Beberapa asam lemak seperti natrium kaprat diketahui dapat meningkatkan permeabilitas paraselular. Penelitian yang baru banyak difokuskan pada chitosan dan turunannya sebagai peningkat permeasi. Chitosan ini ‘biocompatible’ dan dapat berinterasi dengan ‘tight juction’ dan menyebabkannya terbuka tetapi tidak banyak menyebabkan kerusakan terhadap integritas membran sel.

Senin, Agustus 15, 2016

Tren ke 1 dalam ‘Oral Drug Delivery’: Perbaikan Kecepatan Melarut Obat

Hari ini akan aku pengin posting  tentang tren dalam ‘Oral Drug Delivery’ yang diberikan secara oral (melalui mulut). Tren ini sebenarnya sudah dimulai tahun 2004-an, dan hingga saat ini sepertinya masih berlaku.

Seperti anda ketahui, sediaan obat yang diberikan secara oral paling banyak dipilih karena rute oral ini paling umum dikenal pasien, alamiah, dan nyaman sehingga kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat juga tinggi. Tetapi sediaan obat yang diberikan secara oral juga memiliki banyak kelemahan antara lain obat dapat dirusak oleh asam lambung, rusak oleh enzim proteolitik dalam usus, dimetabolisme saat masih berada pada membran usus sehingga sebagian obat telah rusak sebelum diabsorpsi ke dalam darah. Harus dipertimbangkan pula terjadinya ‘first pass effect’ yaitu obat lebih dahulu masuk ke dalam hati untuk dimetabolisme menjadi bahan yang tidak aktif secara farmakologi. Obat yang diberikan secara oral (yang tidak berefek lokal dalam saluran cerna) seringkali mengalami permasalahan dalam absorpsi ke dalam pembuluh darah sehingga ketersediaan hayatinya rendah. Hal ini seringkali disebabkan karena disolusi atau kecepatan larutnya dalam cairan lambung/usus yang rendah.Dan masih banyak kelemahan lain bila obat diformulasikan dalam bentuk sediaan oral. Untuk mengatasi berbagai kelemahan itu dalam sekitar satu dasawarsa terakhir ini dikenal tren dalam pengembangan bentuk sediaan obat untuk pemakaian secara oral. Tren itu antara lain:
1.     Perbaikan Kecepatan Melarut Obat
2.    Peningkatan absorpsi obat
3.    Pelepasan obat secara terkendali
4.    Penyampaian obat pada lokasi khusus

Tren pertama diulas ringkas di bawah ini.

Tren Pertama: Meningkatkan Kecepatan Melarut
Hampir 40% bahan aktif obat yang kita kenal sekarang ini memiliki kelarutan dalam air yang rendah. Pada banyak kasus peningkatan kecepatan melarut obat akan meningkatkan ketersediaan hayati obat.

Tren yang umum sekarang untuk meningkatkan kecepatan melarut obat ini dicapai dengan  cara meningkatkan luas permukaan partikel obat. Hal ini sesuai dengan persamaan Noyes-Whitney yang menyatakan kecepatan melarut obat berbanding lurus dengan luas permukaan partikel obat. Memperkecil ukuran partikel obat, akan meningkatkan luas permukaan partikel obat. Selama pengecilan ukuran masih membuat kondisinya sebagai serbuk kering tetap stabil, pada umumnya akan membuat partikel obat berkontak dengan lebih intensif dengan cairan gastrointestinal dan akan mempercepat disolusinya. Percepatan disolusi akan lebih efektif bila  partikel obat yang ukuran dikecilkan itu disalut dengan surfaktan atau zat tambahan yang berfungsi sebagai stabilisator.

Beberapa metoda digunakan untuk membuat sediaan obat dengan  partikel bahan aktif seukuran nanometer, diantaranya dengan teknik pengendapan seperti Evaporative Precipitation into Aqueous Solution (EPAS) yang berhasil membuat partikel obat seukuran nanometer yang berbentuk kristal dan stabil (metoda ini dapat dilihat pada publikasi Hu JH, Johnston KP, Williams RO, 2004a. Drug Dev Ind Pharm, 30:233-245).
Cara pengecilan ukuran partikel yang lain adalah dengan cara atau teknik mikronisasi seperti RESS (Rapid Expansion from Supercritical Solution), teknik penggerusan secara mekanis dan proses pembekuan secara ultra cepat seperti SFL (Spray Freezing into Liquid). Proses SFL ini berhasil memproduksi danazol (yang sangat tidak larut dalam air) berbentuk amorf dan berukuran nanometer yang stabil untuk dibuat sediaan padat. Proses atau metoda ini dapat dilihat pada publikasi Hu JH, Johnston KP, Williams RO, 2004b. Int J Pharm, 271:145-154.

Ok, cukup tren pertama saja yang kuposting hari ini. Senin depan insya Allah akan kulanjutkan dengan tren kedua dalam ‘Oral Drug Delivery’: Peningkatan Absorpsi Obat.


Artikel ini kuambil dari berbagai sumber, tapi sebagian besar kuambil dari tulisan DR. Jason T. McConville, Research Associate, College of Pharmacy, University Of Texas at Austin di Drug Delivery Report, Autumn/Winter 2005

Senin, Agustus 08, 2016

BACTERIOTHERAPY: A NOVEL THERAPEUTIC APPROACH

Today is Monday, time to post something relates to my former profession as pharmacist. I found interesting article about new approach of bacteriotherapy  involved  prebiotics and probiotics . This article was posted on International Journal of Current Pharmaceutical Research ISSN- 0975-7066 Vol 8, Issue 2, 2016, and was written by Sangeeta Huidrom, R.K. Singh and Varsha Chaudary  from  Central Molecular Research Laboratory, Department of Biochemistry, Shri Guru Ram Rai Institute of Medical and Health Sciences, Dehradun 248001.
Here I post the abstract of the article. You can read completely if you search the journal I has written above.

ABSTRACT The alteration in the homeostasis of gut microbiota and harmful bacteria is associated with various kinds of diseases. Many gastrointestinal disorders such as inflammatory bowel diseases, irritable bowel syndrome, colorectal cancer and systemic diseases such as diabetes, obesity and atherosclerosis are due to dysbiosis in human gut. Many recent clinical studies revealed that probiotic is effective in treatment of various ailments by defending against colonization by opportunistic pathogens, production of antimicrobial substances and immunomodulation. Studies have shown that prebiotics and probiotics or the combinations of two i.e. synbiotics can restore the aberrant gut and can improve the health of gut. There is rapid growth and demand of dairy-based probiotics food in the market due to its awareness among the consumers. Bacteriotherapy has good hold future as novel therapy as consumers are looking for safe, cost effective and no adverse side effects therapeutic approach.


Keywords: Probiotics, Prebiotics, Gut microbiome, Synbiotics, Immunomodulation

Senin, Desember 08, 2014

‘Orodispersable Tablet’ (Bagian 2 dari 2 Tulisan)



Hari ini kulanjutkan tulisanku Senin yang lalu-laluuuuu, tentang Cara Pembuatan dan Evaluasi Orodispersable Tablet (OT).

Cara Pembuatan:
Secara umum OT dapat dibuat dengan metoda cetak manual (molding), cetak dengan mesin (compacting), spray-drying dan freeze drying. Selain itu secara khusus OT dapat pula dibuat dengan metoda ‘melt granulation’, transisi fasa dan sublimasi.

Metode cetak manual (molding) dilakukan dengan cara mengayak, membasahi zat aktif obat selanjutnya mendispersikannya dalam pelarut dan mencetak campuran yang lembab tersebut hingga menjadi bentuk tablet. Gaya kempa atau tekanan yang diterapkan pada metode cetak manual ini biasanya rendah atau kecil, lebih kecil daripada bila menggunakan metoda cetak dengan mesin (compacting). OT yang dibuat dengan metode ini memiliki struktur berpori dan rapuh, sehingga seringkali memersulit dalam penanganannya.

Metode cetak dengan mesin (compacting) dapat dilakukan dengan cara cetak langsung, granulasi basah maupun granulasi kering.Disintegran yang sering digunakan dalam formulasi OT antara lain crosspovidone, croscarmellose sodium, sodium alginate dan turunan asam akrilat.

Bila menggunakan metoda Spray-drying yang biasa digunakan adalah gelatin atau gelatin terhidrolisa sebagai bahan penunjang matrik (pengikat), manitol sebagai bahan pembantu utama dalam pembuatan OT, dan sodium strach glycolate atau croscarmelose sodium sebagai disintegrant. Campuran ini selanjutnya disemprotkan dalam aliran udara kering dengan suhu dan tekanan tinggi sehingga akan tersisa massa yang kering. Massa kering ini selanjutnya bisa dijadikan OT dengan cara molding ataupun compacting.

Mengingatkan lagi, bahasan ini bukan karanganku sendiri ya tapi kuambil dari publikasi ilmiah , terutama dari Journal of Natural Science, Biology and Medicine |July 2010| Vol 1| Issue 1., judul publikasinya Orodispersible Tablets: A New Trend in Drug Delivery, penulisnya Paramita Dey dan Sabyasachi Maiti.

Senin, Maret 24, 2014

‘Orodispersable Tablet’ (Bagian 1 dari 2 Tulisan)



Hari ini Senin, waktunya aku menulis tentang ‘Work and Profession’. Pilihanku jatuh pada judul yang aku tulis di atas. Pasti kalian sudah banyak yang kenal dengan yang disebut ‘Orodispersable Tablet’ kan ya? Buat yang sudah familiar maupun yang ‘have no idea about it’ semoga tulisanku hari ini dapat bermanfaat buat kalian semua.
Definisi:
Ok mulai dari definisi ya...Orodispersable Tablet (selanjutnya sepakat kita singkat OT saja ya biar gak panjang banget ngetiknya) itu adalah bentuk sediaan padat seperti tablet konvensional, yang terbuat dari bahan ‘super disintegrant’ yang membuat tablet tersebut larut dengan cepat dalam air ludah sehingga mudahuntuk ditelan. OT dikenal juga dengan nama ‘orally disintegrating tablet’,’ mouth-dissolving tablet’ , ‘rapid disintegrating tablet’, ‘fast dissolving tablet’, atau ‘fast dissolving tablet’.  Farmakope Amerika dan Eropa menggunakan istilah OT ini.

Jadi OT ini intinya ada di super disintegrant nya yang membuatnya hancur dan segera larut di mulut. Kenapa harus dibuat tablet yang begitu ya..? Ternyata OT ini dibuat khususnya untuk kaum pediatri (anak-anak), geriatri (lansia) dan kaum yang ‘mentally retarded’ alias orang dengan keterbelakangan mental, yang kesulitan menelan tablet konvensional.

Keuntungan:
OT ini memiliki keuntungan yang dimiliki oleh sediaan tablet biasa (stabil, dosis akurat, pembuatan mudah, mudah dalam pengemasan dan penanganan) plus keuntungan tidak memerlukan air saat mengkonsumsinya dan kerja obatnya, dalam arti ‘onset of action’ nya bisa lebih cepat (karena tablet langsung hancur, larut dalam air liur dan zat aktif obat diharapkan akan lebih cepat diabsorpsi juga). Keuntungan lainnya adalah ketersediaan hayati zat aktif obat akan meningkat (karena obat sudah mulai diabsorpsi sesudah larut dalam air ludah di mulut) dan tidak mengalami ‘first pass metabolism’.

Tantangan:
Kalau OT harus hancur dan melarut dalam air ludah di mulut kita tentu tantangan terberatnya adalah masalah rasa. Kalau bahan aktif obat yang akan kita buat menjadi OT itu berasa pahit maka harus kita pikirkan bagaimana menutup rasa pahit itu. Tentu saja pasien akan menolak tablet yang hancur di mulut tapi berasa tidak enak atau pahit. Menutup rasa pahit obat yang paling umum adalah dengan menambahkan pemanis dan perasa (flavouring agent) dalam formula OT. Pemanis yang digunakan tentu saja yang larut air seperti manitol,  aspartam. Eksipien  seperti asam sitrat dapat dikombinasikan dengan pemanis karena akan memberi rasa yang segar. Sedang perasa yang dapat dipilih  antara lain rasa mint pepermint, jeruk atau strwberry. Selain dengan pemanis dan perasa cara menutup rasa pahit yang lain adalah dengan enkapsulasi atau penyalutan bahan aktif obat. Jadi sebelum dibuat tablet bahan aktif obat yang berasa pahit tersebut disalut dulu sehingga rasa pahitnya tertutupi baru kemudian diformulasikan menjadi tablet. Dalam suatu penelitian misalnya untuk menutup rasa pahit zat aktif metronidazole yang akan diformulasikan menjadi OT, si peneliti melakukan 3 cara. Yang pertama dengan menambahkan pemanis berupa sakarin natrium. Yang kedua membuat kompleks metronidazole dengan ekstrak Glycerrhiza glabra (1:3) dengan penambahan suatu pelarut. Cara terakhir dengan membuat lidah mati rasa, dengan jalan menambahkan eugenol dalam metronidazole dan dalam campuran disintegrant nya.

Sudah panjang ya, udahan dulu ya. Senin depan kutulis tentang cara pembuatan dan evaluasi si OT ini ya.....

Oya meskipun kutulis dalam bahasa sehari-hari bahasan ini kuambil dari publikasi ilmiah lho, terutama dari Journal of Natural Science, Biology and Medicine |July 2010| Vol 1| Issue 1., judul publikasinya Orodispersible Tablets: A New Trend in Drug Delivery, penulisnya Paramita Dey dan Sabyasachi Maiti.

Senin, April 12, 2010

Strategi Pengembangan Obat Asli Indonesia Berdasarkan Pendekatan Islam

Awal Agustus 2008, aku dipanggil untuk mengikuti test Seleksi Penerimaan Dosen Tetap Yayasan Unisba. Wah surprise juga aku, masalahnya aku sendiri hampir gak ingat pernah masukin lamaran ke sana (soalnya sudah hampir setahun kirim lamaran, baru dipanggil untuk test). Kupikir-pikir akan banyak manfaatnya bagiku kalau berkhidmat di Unisba. Makanya aku respon panggilan untuk test itu. Sayangnya setelah beberapa tahap test aku tidak lolos. Menurut info yang aku denger sih karena umurku yang sudah setengah tuwir.... Jadi niat baik untuk berkhidmat jadi guru di Unisba gak kesampean deh. Gak papa, aku merasa nothing to loose. Postingku hari Senin ini adalah makalah yang aku susun dalam rangka test di Unisba itu.

Untuk menyusun makalah itu aku mengambil nara sumber dari beberapa pustaka, antara lain:

Sastroamidjojo, Seno, Obat Asli Indonesia, PT Dian rakyat, 1988, halaman 21-22

Litbang Depkes RI, Tanaman Obat Asli Milik Masyarakat Bangsa dan Negara RI, http://www.bmf.litbang.depkes.go.id, 21 Agustus 2007

Wasito, Hendri dan Herawati E., Diar, Etika Farmasi dalam Islam, edisi 1, Graha Ilmu, Bandung, 2008

Agoes, Goeswin, Teknologi Bahan Alam, edisi 1, Penerbit ITB, Bandung, 2007

............
O ya postingku tentang Ayo Mengenal Transporter Obat belum tuntas ya....lain kali aku lanjutkan lagi deh.....


Strategi Pengembangan Obat Asli Indonesia
Berdasarkan Pendekatan Islam



Bagian 1
Pendahuluan



Definisi Obat Asli Indonesia
Dalam buku “Obat Asli Indonesia” karya Dr. Seno Sastroamidjojo disebutkan bahwa yang dimaksud dengan obat asli Indonesia adalah obat-obat yang diperoleh langsung dari bahan-bahan alam yang terdapat di Indonesia, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan penggunaannya dalam pengobatan tradisional (Sastroamidjojo, 1988). Dalam buku tersebut dikatakan definisi itu merupakan hasil kesepakatan pada Seminar Nasional Penggalian Sumber Alam Indonesia untuk Farmasi yang berlangsung di Yogyakarta, 30 November sampai 4 Desember 1964. Untuk masa sekarang definisi tersebut dipandang sudah tidak tepat lagi terutama dalam hal cara pengolahan dan penggunaannya. Sekarang banyak obat asli Indonesia yang diolah secara modern, tidak sekedar dari hasil pengalaman tetapi berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Penggunaannya juga tidak lagi dalam pengobatan tradisional tetapi mulai mendekat pada pelayanan formal kesehatan masyarakat.

Dalam Al Qur’an disebutkan beberapa tanaman yang jelas memiliki khasiat untuk pengobatan dan penyembuhan penyakit, antara lain buah kurma (Phonex dactylifera), habbatus saudah atau biji jinten hitam (Nigella sativa), buah zaitun (Olea eurofea) dan madu (Wasito dan Herawati, 2008).

Potensi untuk Memanfaatkan Obat Asli Indonesia
Indonesia dikenal kaya akan sumber daya hayati yang beraneka ragam. Keanekaragaman hayati Indonesia diperkirakan terkaya, kedua sesudah Brazilia. Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tanaman obat, yang dari jumlah tersebut baru sekitar 1200 spesies tanaman yang sudah dimanfaatkan dan diteliti sebagai obat tradisional (Litbang Depkes, 2007). Bangsa Indonesia sejak dulu juga telah mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modern dikenal masyarakat. Pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman obat tersebut merupakan warisan budaya bangsa turun temurun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman. Dari warisan ini tercipta berbagai ramuan tanaman obat yang merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia. Dengan demikian selain memiliki kekayaan hayati yang besar, pengetahuan masyarakat lokal tentang pemanfaatan sumber daya hayati tersebut cukup tinggi.

Pemanfaatan tanaman obat untuk pemeliharaan kesehatan dan gangguan penyakit hingga saat ini masih sangat dibutuhkan dan perlu dikembangkan, terutama dengan melonjaknya biaya pengobatan dan harga obat-obatan. Adalah suatu kenyataan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pengobatan semakin meningkat, sementara taraf kehidupan masyarakat kita kebanyakan masih rendah. Obat dari bahan tanaman diketahui memiliki harga yang lebih murah dibandingkan obat-obatan modern hasil sintesis kimia. Maka dari itu, pengobatan dengan tanaman obat yang ekonomis merupakan solusi yang baik untuk menanggulangi mahalnya biaya kesehatan. Dengan kembali maraknya gerakan kembali ke alam, kecenderungan penggunaan bahan obat alam atau herbal di dunia semakin meningkat. Selain ekonomis sumber tanaman obat di Indonesia sangat melimpah dengan jenis beraneka ragam. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa obat yang berasal dari tanaman obat mengandung zat-zat atau senyawa aktif yang terbukti bermanfaat bagi kesehatan dan memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan obat-obatan hasil sintesis kimia.

Semua data yang disebutkan di atas menjadikan tanaman berkhasiat obat menjadi sesuatu yang sangat potensial untuk dikembangkan budidayanya, proses penyarian bahan berkhasiatnya, dan teknologi untuk menjadikannya suatu sediaan farmasi. Mengingat lebih dari 90% penduduk Indonesia beragama Islam maka dalam pengembangan tanaman obat untuk tujuan pengobatan di Indonesia harus tetap berdasarkan pendekatan yang islami.


Etika Pengobatan Menurut Islam
Sebagai agama yang kaffah Islam memberikan solusi untuk semua permasalahan, termasuk masalah pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh manusia. Islam mendorong kita untuk tetap mengobati penyakit yang kita derita dengan cara yang islami, dengan obat atau terapi yang diajarkan oleh Al Qur’an dan Sunnah nabi.

Diriwayatkan dari Usamah, ia berkata: “Seorang Badui berkata: Ya Rasulullah, tidakkah kita berobat? Rasulullah SAW menjawab: Ya, wahai hamba-hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit tanpa membuat kesembuhan baginya kecuali satu penyakit. Mereka bertanya: Apakah satu penyakit itu Ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Tua” (HR Usamah).

Diriwayatkan dari Abu Ad Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat penyakit (melainkan) dengan obatnya, dan Allah ta’ala membuat obat buat setiap penyakit. Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan yang haram”. (HR Abu Ad Darda’).

Ketentuan halal dan haram merupakan hak Allah yang harus ditaati oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan haram umat Islam berpedoman kepada Al Qur’an dan Sunnah nabi. Al Qur’an memerintahkan kita untuk memakan makanan yang halal dan thayib (baik). Al Qur’an juga memberikan rambu batasan makanan yang diharamkan yaitu bangkai, babi, darah, khamr, hewan yang mati tidak wajar dan hewan yang disembelih tanpa nama Allah. Surah Al Qur’an dan Sunnah nabi yang menjelaskan hal tersebut antara lain seperti yang tertera di bawah ini.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala..” (Q.S. Al Maidah : 3)

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut, sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu ihram, dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya kamu akan dikumpulkan” (Q.S. Al Maidah: 96)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagimu, dan janganlah kamu melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya” (Q.S. Al Maidah: 87-88).

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah tempat yang pantas baginya” (H.R. Turmudzi).

Pedoman Al Qur’an dan Sunnah nabi di atas berlaku untuk segala produk yang dikonsumsi oleh manusia berupa makanan dan juga termasuk obat-obatan. Oleh karena itu dalam memilih obat yang akan digunakan setiap muslim harus memperhatikan kehalalannya. Meskipun penggunaan produk halal hukumnya wajib bagi setiap muslim, para ulama memperbolehkan obat yang haram dalam keadaan darurat, yaitu timbulnya kekhawatiran akan kematian jika pengobatan dengan obat haram itu tidak dilakukan. Yang berhak menilai keadaan darurat seseorang adalah tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan mengetahui kondisi pasien yaitu dokter, pasien yang bersangkutan yang merasakan penderitaannnya dan pemerintah yang berwewenang untuk menilai kondisi darurat yang menyangkut kepentingan umum (Wasito dan Herawati, 2008).

Berdasarkan batasan atau rambu-rambu yang sudah diberikan dalam Al Qur’an dan Sunnah nabi, maka semua obat yang dikonsumsi oleh setiap muslim harus dipilih obat yang halal. Artinya semua bahan berkhasiatnya dan bahan pembantunya harus beretiket halal. Proses pembuatannya juga tidak melibatkan bahan-bahan yang haram atau tidak jelas halal haramnya.


Bagian 2
Strategi Pengembangan Obat Asli Indonesia Berdasarkan Pendekatan Islam


Dari uraian pada Bagian 1 maka langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengembangkan obat asli Indonesia berdasarkan pendekatan yang islami antara lain adalah:

Langkah 1:
Mendata ulang jenis-jenis tanaman obat asli Indonesia, habitat tumbuhnya, bagian tanaman yang berkhasiat, manfaatnya bagi pengobatan dan penyembuhan penyakit dan data hasil penelitian tentangnya.
Langkah awal ini harus dilakukan dan secara berkala harus selalu dilakukan revisi agar data yang ada merupakan data terkini. Data ini juga harus dibuat oleh tim yang kompeten dalam bidang morfologi tanaman, fitokimia, farmakologi dan lain-lain. Akan lebih baik lagi bila data dilengkapi dengan efek samping pemakaian obat, metoda umum untuk penyarian bahan berkhasiatnya, dan produsen yang sudah memasarkan obat ini dalam bentuk sediaan farmasi.

Langkah 2:

Mensosialisasikan mengenai jenis dan pemanfaatan tanaman obat asli Indonesia pada masyarakat.
Data rinci yang sudah dibuat tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan gerakan untuk mensosialisasikan data tersebut kepada masyarakat melalui media sekolah, media massa, dakwah agama dan lain-lain. Apapun media yang digunakan, informasi mengenai kehalalan proses pembuatan dan produk akhirnya harus tetap disampaikan. Sosialisasi seyogyanya disertai pula dengan gerakan kampanye untuk menggunakan obat yang berasal dari tanaman obat Indonesia.

Langkah 3:
Melakukan pembinaan terhadap petani dan produsen simplisia tanaman obat asli Indonesia.
Yang dimaksud dengan simplisia adalah bahan yang belum mengalami perubahan apapun kecuali pengeringan (Goeswin Agoes, 2007). Simplisia nabati dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman (akar, batang, daun, bunga, biji dan lain-lain) atau eksudat tanaman.
Pembinaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran petani dan produsen simplisia untuk melaksanakan prinsip cara tanam dan pembuatan simplisia yang baik. Seperti diketahui kandungan bahan berkhasiat dalam setiap simplisia sangat dipengaruhi antara lain oleh cara tanam, waktu tanam, lokasi tanam, cara pengeringan, penyimpanan dan distribusi simplisia serta cara ekstraksi atau penyarian bahan berkhasiat. Arah pembinaan ini adalah pembakuan cara tanam dan pembuatan simplisia agar setiap waktu diperoleh simplisia yang memiliki kandungan bahan berkhasiat relatif berada dalam rentang tertentu. Selain itu pembinaan juga harus dilakukan untuk menyadarkan para petani dan produsen simplisia tanaman obat asli Indonesia untuk selalu menjaga kelestarian sumber tanaman obat asli Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat ada banyak tanaman obat yang belum berhasil dibudidayakan dan masih diambil dari hutan seperti pule dan pasak bumi. Bila eksplorasi atau pemanenan tidak memperhatikan waktu untuk tumbuh kembali dikhawatirkan dapat terjadi kelangkaan jenis tanaman obat tertentu. Melestarikan tanaman obat termasuk usaha untuk tidak berbuat kerusakan di bumi yang dianjurkan oleh Al Qur’an , seperti yang tertera di bawah ini:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S. Al Qasas : 77)

Langkah 4:
Melakukan pembinaan dan pelatihan pada produsen ekstrak tanaman agar obat agar dihasilkan ekstrak tanaman obat yang halal, berkhasiat, aman dan siap diproses menjadi sediaan farmasi.
Ekstrak tanaman adalah sediaan yang mengandung bahan berkhasiat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi tanaman atau bagian tanaman obat dengan berbagai cara. Arah pembinaan ini adalah untuk pembakuan cara ekstraksi tanaman obat, karena hal ini berpengaruh pada kandungan bahan berkhasiat dalam simplisia tersebut. Selain itu pembinaan ini juga sangat penting untuk mengarahkan pada penggunaan pelarut yang aman lagi halal. Proses ekstraksi memerlukan pelarut yang dapat berupa air, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya. Bila ekstrak ini akan dikonsumsi secara oral maka ada syarat batas residu pelarut organik yang harus dipatuhi oleh produsen ekstrak. Disamping itu sebagai muslim kita harus memperhatikan fatwa MUI yang memfatwakan bahwa alkohol boleh ada pada produk akhir dengan kadar tidak lebih dari 1%.

Al Qur’an mengatakan:
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Q.S. Al Maidah: 91)

Allah melarang kita meminum khamr atau minuman keras yang mengandung alkohol karena menghalangi dari mengingat Allah dan shalat. Alkohol memang terdapat dalam minuman keras tapi yang menyebabkan minuman keras memabukkan bila konsentrasi alkoholnya melampaui batas tertentu.

Peranan alkohol dalam dunia farmasi hingga saat ini masih sangat strategis dan belum tergantikan oleh senyawa lain. Alkohol ini digunakan untuk bahan pembantu pembuatan sediaan farmasi, cairan pengekstraksi, pelarut bahan berkhasiat obat dan juga sebagai antiseptik. Pelarut organik lain kedudukannya dikiaskan sama dengan alkohol.
Oleh karena itu pembinaan terhadap produsen ekstrak tanaman obat harus pula diarahkan untuk mentaati peraturan perundangan kefarmasian yang berlaku dan juga mentaati fatwa MUI untuk tidak meninggalkan residu alohol pada produk akhir melebihi 1%.

Langkah 5:
Melakukan pengujian dan penilaian mutu, penetapan spesifikasi serta pembakuan secara bertahap terhadap simplisia dan ekstrak tanaman obat. Untuk langkah ini disamping diperlukan penilai atau penguji yang memiliki kompetensi di bidang pengujian ini juga diperlukan mental yang baik agar tidak terjadi kerjasama yang tidak baik antara penilai dan produsen ekstrak untuk dapat meloloskan ekstrak yang tidak memenuhi syarat umum dan syarat kehalalan.

Langkah 6:
Melakukan pembinaan dan pelatihan pada produsen sediaan farmasi barbahan dasar ekstrak tanaman obat, agar diperoleh sediaan farmasi yang halal, berkhasiat, aman dikonsumsi dan mutu terjamin.

Ekstrak tanaman obat seringkali diformulasikan menjadi sediaan farmasi (sediaan yang terdiri dari bahan berkhasiat dan bahan tambahan atau bahan pembantu agar mudah dalam pembuatannya, memudahkan konsumen untuk mengkonsumsinya, mendistribusikannnya, menyimpannya dan menjaga stabilitas bahan berkhasiatnya). Untuk itu pada ekstrak tersebut ditambahkan beberapa macam bahan pembantu dan pada campuran itu dilakukan proses pembuatan sehingga diperoleh bentuk sediaan akhir (sirup, suspensi, emulsi, tablet, kapsul dan lain-lain) yang kemudian dikemas.
Pembinaan yang dilakukan arahnya adalah nuntuk menghasilkan sediaan farmasi yang tetap berkhasiat, aman dikonsumsi dan mutunya terjamin dengan baik. Untuk menjamin ke arah itu pemerintah sudah menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik dan harus diikuti dan dipatuhi oleh para produsen obat (industri farmasi). Di samping itu untuk menjamin kehalalan sediaan farmasi yang dibuat maka info mengenai bahan pembantu yang haram harus terus disampaikan pada produsen obat, agar tidak ada lagi formulasi yang mengandung bahan pembantu atau bahan berkhasiat lain yang haram.

Sesuai dengan Al Qur’an, pada tahun 1994 MUI telah memfatwakan bahwa babi dan komponen-komponennya haram untuk dikonsumsi baik sebagai pangan maupun sebagai obat dan kosmetika, untuk pemakaian oral, parenteral maupun topikal. Bahan obat dan kosmetik yang berpotensi haram karena pada umumnya dibuat dari bagian organ babi adalah kolagen, gelatin, cerebroside, insulin, heparin dan tripsin.

LPPOM MUI juga telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan plasenta manusia sebagai bahan obat. Pengkiasannya adalah bila bangkai manusia haram hukumnya maka plasenta sebagai bagian tubuh manusiapun haram hukumnya. Disamping itu harus diingat penggunaan alkohol dalam produk akhir sediaan farmasi tidak boleh melebihi 1%.

Karena itu bila ekstrak tanaman obat akan diformulasikan menjadi sediaan farmasi sebaiknya menghindari penambahan dengan bahan tambahan yang berasal dari babi dan plasenta seperti yang disebutkan di atas, serta kandungan alkoholnya tidak melebihi 1% agar kehalalannya terjaga.

Langkah 7:
Melakukan pengujian dan penilaian mutu, penetapan spesifikasi serta pembakuan secara bertahap terhadap sediaan farmasi berbahan baku ekstrak tanaman obat.

Langkah ini hampir sama dengan langkah 5, tetapi pengujian dilakukan terhadap sediaaan farmasi yang berbahan baku ekstrak tanaman obat. Untuk langkah ini disamping diperlukan penilai atau penguji memiliki kompetensi di bidang pengujian ini juga diperlukan mental yang baik agar tidak terjadi kerjasama yang tidak baik antara penilai dan produsen obat untuk dapat meloloskan obat yang tidak memenuhi syarat umum dan syarat kehalalan.

Pada umumnya hasil dari pengujian ini akan memasukkan obat sediaan farmasi berbahan baku tanaman obat ini menjadi 3 kelompok yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan dari bahan tanaman, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan bahan bakunya telah terstandarisasi. Sedangkan fitofarmaka adalah sediaan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dengan hewan percobaan dan uji klinis dengan manusia serta bahan baku dan produknya telah terstandarisasi (Wasito dan Herawati, 2008).

Langkah 8:
Mendekatkan sediaan galenik dan sediaan farmasi berbahan baku ekstrak tanaman obat pada pelayanan kesehatan masyarakat secara formal.

Langkah ini sangat penting untuk dilakukan. Pemerintah (dalam hal ini PPOM) telah melakukan penggolongan terhadap obat yang berasal dari tanaman ke dalam golongan jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Dan mungkin sosialisasi mengenai obat yang berbahan baku tanaman obat sudah dilakukan melalui sekolah, media massa, dakwah agama dan lain-lain. Tetapi kalau produk ini tidak didekatkan dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang berlaku saat ini maka pengembangan tanaman obat asli Indonesia akan menjadi kurang berarti.

Ada beberapa cara untuk pendekatan ini. Yang pertama adalah melalui jalur akademis di fakultas kedokteran dengan cara memasukkan pendidikan mengenai obat herba ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran. Dengan cara ini diharapkan calon dokter sudah mengenal tentang obat-obat berbahan baku tanaman obat sejak di fakultas, dan dapat mengaplikasikannya nanti dalam resep yang ditulisnya. Cara kedua adalah keberanian pemerintah untuk memasukkan pengobatan dengan bahan tradisional ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal yang ada di puskesmas dan rumah sakit seperti yang sudah dilakukan oleh Cina, Korea, India dan Srilanka. Bila langkah ini dilakukan maka pemanfaatan obat asli Indonesia akan terus berlangsung dalam jumlah yang meningkat. Hal ini akan memacu pula peningkatan proses produksinya.

Langkah 9:
Melakukan penelitian sinambung tentang tanaman obat asli Indonesia dan memperbanyak distribusi peralatan pengujian untuk tanaman obat.

Langkah ini penting agar pemahaman akan khasiat, efek samping, cara ekstraksi, cara produksi, stabilitas bahan berkhasiat, pengaruh waktu dan tempat tanam dan lain-lain dari tanaman obat asli Indonesia senantiasa bertambah. Pemahaman yang lebih baik akan membuat konsumen tidak ragu untuk mengkonsumsinya. Sedangkan mengenai distribusi alat pengujian ini penting dilakukan mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas dan tanaman obat asli Indonesiapun tersebar di berbagai wilayah yang luas itu. Akan sangat baik bila ada kebijakan pemerintah untuk meratakan distribusi peralatan pengujian spektrofotodensitometri, HPLC, NMR dan lain-lain, baik yang dimiliki oleh perguruan tinggi ataupun instansi pemerintah yang lain (misalnya di balai penelitian tanaman obat yang tersebar di semua propinsi), agar penelitian tentang tanaman obat di berbagai wilayah di Indonesia tidak terhambat karena masalah peralatan.

Langkah 10:
Membuat peraturan perundangan yang jelas mengenai syarat-syarat, cara memproduksi yang baik, cara pengujian, pemakaiannya untuk pelayanan kesehatan dan lain-lain untuk sediaan galenik / sediaan farmasi yang berbahan baku ekstrak tanaman obat. Juga melakukan pengawasan sinambung terhadap proses pembuatan dan distribusi obat dari bahan alam ini. Persyaratan perundangan juga harus mencantumkan kewajiban produsen untuk memperoleh sertifikat halal dari MUI untuk setiap produk yang dihasilkannya. Untuk ini maka seyogyanya dipilih pelaksana yang memiliki penilaian moral yang baik agar tidak terjadi kecurangan dalam pembuatan produk perundangan maupun proses pengawasan pelaksanaaanya.

Langkah 11:
Menggalang kerjasama antar berbagai pihak seperti pemerintah, industri obat tradisional dan industri farmasi, peneliti, perguruan tinggi baik secara nasional maupun internasional dan MUI untuk meningkatkan pemanfaatan dan pengolahan obat asli Indonesia sehingga dapat dikonsumsi secara aman, mutu terjamin dan halal.



Bagian 3
Penutup


Dibutuhkan usaha dan kerja keras setiap umat Islam agar pengembangan obat asli Indonesia tidak mengarah pada produksi sediaan farmasi yang meskipun aman, berkhasiat, bermutu baik tapi bersifat syubhat, belum jelas halal dan haramnya. Harus dirintis dari sekarang agar semua usaha pengembangan obat asli Indonesia bermuara pada terwujudnya sediaan galenik atau farmasi berbahan baku ekstrak tanaman obat asli Indonesia yang aman, berkhasiat, bermutu baik dan halal. Semua apoteker muslim harus berperan aktif untuk mewujudkan harapan tersebut.

Sabtu, April 10, 2010

Ayo Mengenal Transporter Obat (5)

Sebagai lanjutan tulisanku Senin kemarin, hari ini akan kutulis tentang Transporter Obat yang Berperan pada Proses Ekskresi melalui ginjal.....

Banyak jenis obat yang diekskresi ke dalam urin melalui sistem transpor anion dan kation yang terdapat pada membran brush-border dan membran basolateral dari sel tubulus ginjal.

Karena beberapa transporter secara spesifik terdapat pada sel tubular ginjal, maka mereka dapat digunakan sebagai target penghantaran obat ke ginjal yang dapat mengontrol proses eliminasi.

OAT1 dan OAT3 terutama terdapat di ginjal dan terlokalisasi pada membran basolateral dari tubulus proksimal . Substrat dari OAT1 dan OAT3 termasuk anion organik yang kecil dan hidrofil seperti p-amino hipurat (PAH), methotrexat, antibiotika beta laktam, anti inflamasi non steroid dan obat-obat antiviral analog nukleosid. Akhir-akhir ini sudah dapat dikembangkan mencit yang dihilangkan Oat3 nya dan mencit-mencit ini mengalami gangguan fungsi transport anion organik di ginjal, tetapi tidak terjadi gangguan tersebut di hati. Hal ini menunjukkan bahwa Oat3 berperan penting pada pengambilan anion organik di ginjal tetapi tidak di hati.

Pada umumnya anion organik amfipatik yang berat molekulnya relatif tinggi seperti substrat-substrat OATP dieliminasi dari hati dan atau ekskresi empedu, sedangkan anion organik yang kecil dan hidrofilik diekskresikan ke dalam urin. Distribusi jaringan dan jalur eliminasi dari obat-obat dapat dijelaskan dengan kesamaan dan perbedaan pada pengenalan substrat oleh transporter yang terdapat di hati dan ginjal. Jadi dengan memodifikasi obat sehingga dapat dikenal oleh OATP atau OAT akan mengarah pada organotropisme hati atau ginjal. Secara umum keluarga OAT terdapat dalam jumlah banyak di ginjal kecuali OAT2 yang jumlahnya di hati lebih banyak daripada jumlahnya di ginjal.

Sabtu, April 03, 2010

Ayo Mengenal Transporter Obat (4)

Seminggu kemarin, lagi-lagi aku gak sempet posting sekalipun. Padahal tabungan tulisan cukup banyak. Jadi pada hari Sabtu ini aku rapel dah.....

Ini jatah posting hari Senin kemarin. Seri ke 4 tentang Mengenal Transporter Obat ini akan kuisi dengan tulisan tentang Transporter yang Berperan pada proses Distribuai Obat.

Drug targeting (penyampaian obat ke sasaran obat) merupakan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan aktivitas farmakologi dan untuk menurunkan efek samping obat. Bermacam-macam transporter obat yang terdapat di hati, ginjal dan organ lain dapat menjadi target atau sasaran yang menjanjikan untuk penghantaran obat.

Kasus yang terdokumentasikan dengan baik adalah Pravastatin. Pravastatin (suatu 3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A dari inhibitor reduktase ) mengalami sirkulasi enterohepatik yang menyebabkan perpanjangan pemaparan pada hati yang menjadi organ sasaran pravastatin dan juga menyebabkan pengurangan efek samping yang merugikan pada jaringan perifer. Sirkulasi enterohepatik ini diperantarai oleh berbagai transporter obat, mulai dari absorpsi dari saluran cerna hingga transpor empedunya. Dari vena porta hepatik pravastatin diambil oleh protein keluarga OATP yang terdapat pada membran sinusoidal (basolateral). Setelah memberikan efek farmakologi pada hati pravastatin diekskresikan dalam empedu oleh MRP2 tanpa mengalami perubahan metabolik yang berarti. Fraksi obat yang dilepaskan ke dalam duodenum kemudian direabsorpsi melalui transpor aktif.Jadi transpor hati-empedu yang efisien oleh OATP dan MRP2 memegang peran penting dalam sirkulasi enterohepatik yang bertanggung jawab pada kadar signifikan pravastatin dalam hati.

Juga telah dibuktikan bahwa penyampaian ke sasaran pada obat antikanker dapat dicapai menggunakan transporter oligopeptida PEPT1 yang terdapat pada tumor. Beberapa sel kanker pada manusia menunjukkan aktivitas transpor oligopeptida. Telah diteliti penghantaran obat antikanker yang mempunyai struktur mirip peptida seperti bestatin (yang merupakan substrat dari PEPT1) . Sesudah pemberian bestatin secara intra vena pada tikus gundul yang diinokulasi dengan sel tumor, konsentrasi bestatin pada tumor yang proses transpornya melibatkan PEPT1 tersebut lebih besar dibandingkan tumor yang proses transpornya tidak melibatkan PEPT1. Selanjutnya pemberian dosis berulang secara oral oral menekan pertumbuhan tumor yang proses transpornya melibatkan PEPT1. Diperkirakan bestatin terdistribusi ke jaringan tumor melalui mekanisme yang khas.

NTCP adalah protein ‘kotransporter’ untuk ion Na+-asam empedu yang memperantarai pengambilan asam-asam empedu oleh hati. Karena NTCP secara eksklusif terdapat dalam membran sinusoidal hati, transporter ini dapat digunakan sebagai target dalam penghantaran obat ke organ hati. Menurut Dominguez et.al. melakukan ‘coupling’ obat-obat tertentu dengan rantai samping dari asam-asam empedu dapat digunakan sebagai strategi untuk penyampaian obat pada sel-sel tumor pada hati. Cisplatin-turunan ursodeoksicholat (Bamet-UD2) secara efisien ditranspor oleh NTCP. Konsentrasi Bamet-UD2 di dalam hati beberapa kali lebih tinggi daripada konsentrasi setelah pemberian cisplatin saja.

Strategi penyampaian ke sasaran (drug targeting strategy) harus memperhatikan keberadaan transporter-transporter pada organ sasaran dan organ-organ lain (yang bukan organ sasaran). Sangat penting untuk mendisain molekul obat yang transpornya dapat diperantarai oleh transporter khas yang ada pada organ sasaran.

This posting will be continued next Monday ya…..

Rabu, Maret 24, 2010

Ayo Mengenal Transporter Obat (3)


Sebagai lanjutan tulisanku Senin yang lalu, tulisanku hari ini adalah tentang Transporter yang Berperan pada Proses Absorpsi Obat.

Bermacam-macam transporter terdapat pada membran ‘brush-border’ sel epitel usus . Transporter-transporter tersebut terlibat pada proses absorpsi zat makanan, senyawa endogen dan obat. Transporter jenis influx yang ada di usus seperti PEPT1, ASBT, OATP-B, OATP-D, OATP-E (pada manusia) atau Oatp3 (pada tikus) akan membantu meningkatkan absorpsi.

PEPT1 memperantarai transport obat yang memiliki struktur mirip peptida seperti anti biotika betalaktam, inhibitor enzim pengubah angiotensin (ACE inhibitor) dan senyawa mirip dipeptida yaitu bestatin (suatu obat anti kanker).

Disamping memperantarai senyawa mirip peptida, PEPT1 juga mentranspor valaciclovir, yaitu suatu prodrug berupa ester valil dari senyawa antivirus aciclovir. Meniru hal ini maka esterifikasi L-valil dari suatu obat yang absorpsinya sangat buruk dapat menjadi startegi yang berguna untuk meningkatkan ketersediaan hayati dan kemanjuran terapi obat tersebut.

Pada tikus Oatp3 terdapat pada bagian apikal membran ‘brush-border’ dari enterosit. Karena Oatp3 mentranspor taurokholat, Oatp3 ini diperkirakan memperantarai absorpsi asam-asam empedu.

Transporter primer aktif jenis efflux seperti P-gp, MRP2 atau BCRP terdapat pada membran ‘brush-border’ enterosit dan mengekskresikan obat-obat yang menjadi substratnya ke dalam lumen usus yang mengakibatkan pengurangan absorpsi yang signifikan pada obat-obat yang menjadi substratnya. Jadi sekresi aktif (oleh transporter efflux) obat yang sebelumnya sudah diabsorpsi ke dalam lumen usus dikenal sebagai faktor signifikan pada ketersediaan hayati obat-obat yang diberikan secara oral.

P-gp berperan pada pengurangan absorpsi bermacam-macam obat karena memiliki spesifisitas substrat yang luas. Kadar P-gp dalam usus berhubungan dengan AUC (luas di bawah kurva) sesudah pemberian digoxin (yang merupakan substrat dari P-gp pada manusia) secara oral. Dari hasil ini diperkirakan kadar P-gp dalam epitel dinding usus menentukan kadar dalam plasma dari digoxin yang diberikan secara oral.

BCRP adalah suatu protein yang resisten terhadap bermacam-macam obat (multidrug –resistance protein) yang merupakan anggota dari ABC Transporter (ATP Binding Cassette Transporter). BCRP yang merupakan transporter efflux berperan pada sekresi aktif Topotecan (yang merupakan substrat BCRP dan P-gp, jadi absorpsi Topotecan dibatasi oleh P-gp dan BCRP). Bila pada tikus yang mengalami defisiensi P-gp diberikan Topotecan dan GF120918 (suatu obat yang merupakan inhibitor BCRP dan P-gp) terbukti ketersediaan hayati Topotecan meningkat 6 kalinya, dibandingkan dengan tikus yang hanya diberi Topotecan saja.

Pada prinsipnya inhibisi transporter efflux di usus merupakan cara berguna untuk meningkatkan ketersediaan hayati obat yang dikonsumsi bersama-sama dengan inhibitor tersebut. Pada suatu penelitian sudah terbukti pemakaian vitamin K yang larut air (d--tocopheryl polyethileneglycol 1000 succinate = TPGS) meningkatkan absorpsi siklosporin pada sukarelawan sehat dan pada pasien yang menerima transplantasi hati.
Publikasi yang lain menunjukkan bahwa TPGS juga meningkatkan kelarutan amprenavir (suatu inhibitor protease pada HIV) dan menginhibisi sistem transpor efflux serta meningkatkan permeabilitas amprenavir (in vitro) melalui sel Caco-2 lapis tunggal.
Jadi secara keseluruhan TPGS meningkatkan absorpsi influx dari amprenavir dengan cara meningkatkan kelarutan dan permeabilitas membrannya. Peningkatan ini sangat nyata karena ketersediaan hayati kapsul amprenavir yang konvensional hampir mendekati nol.

Gambar di atas merupakan gambar Proses Transpor pada Proses Absorpsi di Usus. Gambar ini ada di publikasi Mizuno, N., Niwa, T.,Yotsumoto, Y., Sugiyama, Y., Impact of Drug Transporter Studies on Drug Discovery and Development, Pharmacol Rev 55:425-461, 2003, yang aslinya diambil dari artikel Buku Mr. Dhiren R. Thakker (Thakker, Dhiren R., Integration of ADME Studies in Drug Discovery: Past, Present anf Future, School of Pharmacy The University of North Carolina at Chapel Hill).

Udahan dulu ya…disambung Senin depan aja, nguantuk berat ni…..