Senin, April 12, 2010

Strategi Pengembangan Obat Asli Indonesia Berdasarkan Pendekatan Islam

Awal Agustus 2008, aku dipanggil untuk mengikuti test Seleksi Penerimaan Dosen Tetap Yayasan Unisba. Wah surprise juga aku, masalahnya aku sendiri hampir gak ingat pernah masukin lamaran ke sana (soalnya sudah hampir setahun kirim lamaran, baru dipanggil untuk test). Kupikir-pikir akan banyak manfaatnya bagiku kalau berkhidmat di Unisba. Makanya aku respon panggilan untuk test itu. Sayangnya setelah beberapa tahap test aku tidak lolos. Menurut info yang aku denger sih karena umurku yang sudah setengah tuwir.... Jadi niat baik untuk berkhidmat jadi guru di Unisba gak kesampean deh. Gak papa, aku merasa nothing to loose. Postingku hari Senin ini adalah makalah yang aku susun dalam rangka test di Unisba itu.

Untuk menyusun makalah itu aku mengambil nara sumber dari beberapa pustaka, antara lain:

Sastroamidjojo, Seno, Obat Asli Indonesia, PT Dian rakyat, 1988, halaman 21-22

Litbang Depkes RI, Tanaman Obat Asli Milik Masyarakat Bangsa dan Negara RI, http://www.bmf.litbang.depkes.go.id, 21 Agustus 2007

Wasito, Hendri dan Herawati E., Diar, Etika Farmasi dalam Islam, edisi 1, Graha Ilmu, Bandung, 2008

Agoes, Goeswin, Teknologi Bahan Alam, edisi 1, Penerbit ITB, Bandung, 2007

............
O ya postingku tentang Ayo Mengenal Transporter Obat belum tuntas ya....lain kali aku lanjutkan lagi deh.....


Strategi Pengembangan Obat Asli Indonesia
Berdasarkan Pendekatan Islam



Bagian 1
Pendahuluan



Definisi Obat Asli Indonesia
Dalam buku “Obat Asli Indonesia” karya Dr. Seno Sastroamidjojo disebutkan bahwa yang dimaksud dengan obat asli Indonesia adalah obat-obat yang diperoleh langsung dari bahan-bahan alam yang terdapat di Indonesia, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan penggunaannya dalam pengobatan tradisional (Sastroamidjojo, 1988). Dalam buku tersebut dikatakan definisi itu merupakan hasil kesepakatan pada Seminar Nasional Penggalian Sumber Alam Indonesia untuk Farmasi yang berlangsung di Yogyakarta, 30 November sampai 4 Desember 1964. Untuk masa sekarang definisi tersebut dipandang sudah tidak tepat lagi terutama dalam hal cara pengolahan dan penggunaannya. Sekarang banyak obat asli Indonesia yang diolah secara modern, tidak sekedar dari hasil pengalaman tetapi berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Penggunaannya juga tidak lagi dalam pengobatan tradisional tetapi mulai mendekat pada pelayanan formal kesehatan masyarakat.

Dalam Al Qur’an disebutkan beberapa tanaman yang jelas memiliki khasiat untuk pengobatan dan penyembuhan penyakit, antara lain buah kurma (Phonex dactylifera), habbatus saudah atau biji jinten hitam (Nigella sativa), buah zaitun (Olea eurofea) dan madu (Wasito dan Herawati, 2008).

Potensi untuk Memanfaatkan Obat Asli Indonesia
Indonesia dikenal kaya akan sumber daya hayati yang beraneka ragam. Keanekaragaman hayati Indonesia diperkirakan terkaya, kedua sesudah Brazilia. Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tanaman obat, yang dari jumlah tersebut baru sekitar 1200 spesies tanaman yang sudah dimanfaatkan dan diteliti sebagai obat tradisional (Litbang Depkes, 2007). Bangsa Indonesia sejak dulu juga telah mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modern dikenal masyarakat. Pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman obat tersebut merupakan warisan budaya bangsa turun temurun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman. Dari warisan ini tercipta berbagai ramuan tanaman obat yang merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia. Dengan demikian selain memiliki kekayaan hayati yang besar, pengetahuan masyarakat lokal tentang pemanfaatan sumber daya hayati tersebut cukup tinggi.

Pemanfaatan tanaman obat untuk pemeliharaan kesehatan dan gangguan penyakit hingga saat ini masih sangat dibutuhkan dan perlu dikembangkan, terutama dengan melonjaknya biaya pengobatan dan harga obat-obatan. Adalah suatu kenyataan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pengobatan semakin meningkat, sementara taraf kehidupan masyarakat kita kebanyakan masih rendah. Obat dari bahan tanaman diketahui memiliki harga yang lebih murah dibandingkan obat-obatan modern hasil sintesis kimia. Maka dari itu, pengobatan dengan tanaman obat yang ekonomis merupakan solusi yang baik untuk menanggulangi mahalnya biaya kesehatan. Dengan kembali maraknya gerakan kembali ke alam, kecenderungan penggunaan bahan obat alam atau herbal di dunia semakin meningkat. Selain ekonomis sumber tanaman obat di Indonesia sangat melimpah dengan jenis beraneka ragam. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa obat yang berasal dari tanaman obat mengandung zat-zat atau senyawa aktif yang terbukti bermanfaat bagi kesehatan dan memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan obat-obatan hasil sintesis kimia.

Semua data yang disebutkan di atas menjadikan tanaman berkhasiat obat menjadi sesuatu yang sangat potensial untuk dikembangkan budidayanya, proses penyarian bahan berkhasiatnya, dan teknologi untuk menjadikannya suatu sediaan farmasi. Mengingat lebih dari 90% penduduk Indonesia beragama Islam maka dalam pengembangan tanaman obat untuk tujuan pengobatan di Indonesia harus tetap berdasarkan pendekatan yang islami.


Etika Pengobatan Menurut Islam
Sebagai agama yang kaffah Islam memberikan solusi untuk semua permasalahan, termasuk masalah pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh manusia. Islam mendorong kita untuk tetap mengobati penyakit yang kita derita dengan cara yang islami, dengan obat atau terapi yang diajarkan oleh Al Qur’an dan Sunnah nabi.

Diriwayatkan dari Usamah, ia berkata: “Seorang Badui berkata: Ya Rasulullah, tidakkah kita berobat? Rasulullah SAW menjawab: Ya, wahai hamba-hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit tanpa membuat kesembuhan baginya kecuali satu penyakit. Mereka bertanya: Apakah satu penyakit itu Ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Tua” (HR Usamah).

Diriwayatkan dari Abu Ad Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat penyakit (melainkan) dengan obatnya, dan Allah ta’ala membuat obat buat setiap penyakit. Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan yang haram”. (HR Abu Ad Darda’).

Ketentuan halal dan haram merupakan hak Allah yang harus ditaati oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan haram umat Islam berpedoman kepada Al Qur’an dan Sunnah nabi. Al Qur’an memerintahkan kita untuk memakan makanan yang halal dan thayib (baik). Al Qur’an juga memberikan rambu batasan makanan yang diharamkan yaitu bangkai, babi, darah, khamr, hewan yang mati tidak wajar dan hewan yang disembelih tanpa nama Allah. Surah Al Qur’an dan Sunnah nabi yang menjelaskan hal tersebut antara lain seperti yang tertera di bawah ini.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala..” (Q.S. Al Maidah : 3)

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut, sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu ihram, dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya kamu akan dikumpulkan” (Q.S. Al Maidah: 96)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagimu, dan janganlah kamu melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya” (Q.S. Al Maidah: 87-88).

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah tempat yang pantas baginya” (H.R. Turmudzi).

Pedoman Al Qur’an dan Sunnah nabi di atas berlaku untuk segala produk yang dikonsumsi oleh manusia berupa makanan dan juga termasuk obat-obatan. Oleh karena itu dalam memilih obat yang akan digunakan setiap muslim harus memperhatikan kehalalannya. Meskipun penggunaan produk halal hukumnya wajib bagi setiap muslim, para ulama memperbolehkan obat yang haram dalam keadaan darurat, yaitu timbulnya kekhawatiran akan kematian jika pengobatan dengan obat haram itu tidak dilakukan. Yang berhak menilai keadaan darurat seseorang adalah tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan mengetahui kondisi pasien yaitu dokter, pasien yang bersangkutan yang merasakan penderitaannnya dan pemerintah yang berwewenang untuk menilai kondisi darurat yang menyangkut kepentingan umum (Wasito dan Herawati, 2008).

Berdasarkan batasan atau rambu-rambu yang sudah diberikan dalam Al Qur’an dan Sunnah nabi, maka semua obat yang dikonsumsi oleh setiap muslim harus dipilih obat yang halal. Artinya semua bahan berkhasiatnya dan bahan pembantunya harus beretiket halal. Proses pembuatannya juga tidak melibatkan bahan-bahan yang haram atau tidak jelas halal haramnya.


Bagian 2
Strategi Pengembangan Obat Asli Indonesia Berdasarkan Pendekatan Islam


Dari uraian pada Bagian 1 maka langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengembangkan obat asli Indonesia berdasarkan pendekatan yang islami antara lain adalah:

Langkah 1:
Mendata ulang jenis-jenis tanaman obat asli Indonesia, habitat tumbuhnya, bagian tanaman yang berkhasiat, manfaatnya bagi pengobatan dan penyembuhan penyakit dan data hasil penelitian tentangnya.
Langkah awal ini harus dilakukan dan secara berkala harus selalu dilakukan revisi agar data yang ada merupakan data terkini. Data ini juga harus dibuat oleh tim yang kompeten dalam bidang morfologi tanaman, fitokimia, farmakologi dan lain-lain. Akan lebih baik lagi bila data dilengkapi dengan efek samping pemakaian obat, metoda umum untuk penyarian bahan berkhasiatnya, dan produsen yang sudah memasarkan obat ini dalam bentuk sediaan farmasi.

Langkah 2:

Mensosialisasikan mengenai jenis dan pemanfaatan tanaman obat asli Indonesia pada masyarakat.
Data rinci yang sudah dibuat tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan gerakan untuk mensosialisasikan data tersebut kepada masyarakat melalui media sekolah, media massa, dakwah agama dan lain-lain. Apapun media yang digunakan, informasi mengenai kehalalan proses pembuatan dan produk akhirnya harus tetap disampaikan. Sosialisasi seyogyanya disertai pula dengan gerakan kampanye untuk menggunakan obat yang berasal dari tanaman obat Indonesia.

Langkah 3:
Melakukan pembinaan terhadap petani dan produsen simplisia tanaman obat asli Indonesia.
Yang dimaksud dengan simplisia adalah bahan yang belum mengalami perubahan apapun kecuali pengeringan (Goeswin Agoes, 2007). Simplisia nabati dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman (akar, batang, daun, bunga, biji dan lain-lain) atau eksudat tanaman.
Pembinaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran petani dan produsen simplisia untuk melaksanakan prinsip cara tanam dan pembuatan simplisia yang baik. Seperti diketahui kandungan bahan berkhasiat dalam setiap simplisia sangat dipengaruhi antara lain oleh cara tanam, waktu tanam, lokasi tanam, cara pengeringan, penyimpanan dan distribusi simplisia serta cara ekstraksi atau penyarian bahan berkhasiat. Arah pembinaan ini adalah pembakuan cara tanam dan pembuatan simplisia agar setiap waktu diperoleh simplisia yang memiliki kandungan bahan berkhasiat relatif berada dalam rentang tertentu. Selain itu pembinaan juga harus dilakukan untuk menyadarkan para petani dan produsen simplisia tanaman obat asli Indonesia untuk selalu menjaga kelestarian sumber tanaman obat asli Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat ada banyak tanaman obat yang belum berhasil dibudidayakan dan masih diambil dari hutan seperti pule dan pasak bumi. Bila eksplorasi atau pemanenan tidak memperhatikan waktu untuk tumbuh kembali dikhawatirkan dapat terjadi kelangkaan jenis tanaman obat tertentu. Melestarikan tanaman obat termasuk usaha untuk tidak berbuat kerusakan di bumi yang dianjurkan oleh Al Qur’an , seperti yang tertera di bawah ini:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S. Al Qasas : 77)

Langkah 4:
Melakukan pembinaan dan pelatihan pada produsen ekstrak tanaman agar obat agar dihasilkan ekstrak tanaman obat yang halal, berkhasiat, aman dan siap diproses menjadi sediaan farmasi.
Ekstrak tanaman adalah sediaan yang mengandung bahan berkhasiat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi tanaman atau bagian tanaman obat dengan berbagai cara. Arah pembinaan ini adalah untuk pembakuan cara ekstraksi tanaman obat, karena hal ini berpengaruh pada kandungan bahan berkhasiat dalam simplisia tersebut. Selain itu pembinaan ini juga sangat penting untuk mengarahkan pada penggunaan pelarut yang aman lagi halal. Proses ekstraksi memerlukan pelarut yang dapat berupa air, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya. Bila ekstrak ini akan dikonsumsi secara oral maka ada syarat batas residu pelarut organik yang harus dipatuhi oleh produsen ekstrak. Disamping itu sebagai muslim kita harus memperhatikan fatwa MUI yang memfatwakan bahwa alkohol boleh ada pada produk akhir dengan kadar tidak lebih dari 1%.

Al Qur’an mengatakan:
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Q.S. Al Maidah: 91)

Allah melarang kita meminum khamr atau minuman keras yang mengandung alkohol karena menghalangi dari mengingat Allah dan shalat. Alkohol memang terdapat dalam minuman keras tapi yang menyebabkan minuman keras memabukkan bila konsentrasi alkoholnya melampaui batas tertentu.

Peranan alkohol dalam dunia farmasi hingga saat ini masih sangat strategis dan belum tergantikan oleh senyawa lain. Alkohol ini digunakan untuk bahan pembantu pembuatan sediaan farmasi, cairan pengekstraksi, pelarut bahan berkhasiat obat dan juga sebagai antiseptik. Pelarut organik lain kedudukannya dikiaskan sama dengan alkohol.
Oleh karena itu pembinaan terhadap produsen ekstrak tanaman obat harus pula diarahkan untuk mentaati peraturan perundangan kefarmasian yang berlaku dan juga mentaati fatwa MUI untuk tidak meninggalkan residu alohol pada produk akhir melebihi 1%.

Langkah 5:
Melakukan pengujian dan penilaian mutu, penetapan spesifikasi serta pembakuan secara bertahap terhadap simplisia dan ekstrak tanaman obat. Untuk langkah ini disamping diperlukan penilai atau penguji yang memiliki kompetensi di bidang pengujian ini juga diperlukan mental yang baik agar tidak terjadi kerjasama yang tidak baik antara penilai dan produsen ekstrak untuk dapat meloloskan ekstrak yang tidak memenuhi syarat umum dan syarat kehalalan.

Langkah 6:
Melakukan pembinaan dan pelatihan pada produsen sediaan farmasi barbahan dasar ekstrak tanaman obat, agar diperoleh sediaan farmasi yang halal, berkhasiat, aman dikonsumsi dan mutu terjamin.

Ekstrak tanaman obat seringkali diformulasikan menjadi sediaan farmasi (sediaan yang terdiri dari bahan berkhasiat dan bahan tambahan atau bahan pembantu agar mudah dalam pembuatannya, memudahkan konsumen untuk mengkonsumsinya, mendistribusikannnya, menyimpannya dan menjaga stabilitas bahan berkhasiatnya). Untuk itu pada ekstrak tersebut ditambahkan beberapa macam bahan pembantu dan pada campuran itu dilakukan proses pembuatan sehingga diperoleh bentuk sediaan akhir (sirup, suspensi, emulsi, tablet, kapsul dan lain-lain) yang kemudian dikemas.
Pembinaan yang dilakukan arahnya adalah nuntuk menghasilkan sediaan farmasi yang tetap berkhasiat, aman dikonsumsi dan mutunya terjamin dengan baik. Untuk menjamin ke arah itu pemerintah sudah menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik dan harus diikuti dan dipatuhi oleh para produsen obat (industri farmasi). Di samping itu untuk menjamin kehalalan sediaan farmasi yang dibuat maka info mengenai bahan pembantu yang haram harus terus disampaikan pada produsen obat, agar tidak ada lagi formulasi yang mengandung bahan pembantu atau bahan berkhasiat lain yang haram.

Sesuai dengan Al Qur’an, pada tahun 1994 MUI telah memfatwakan bahwa babi dan komponen-komponennya haram untuk dikonsumsi baik sebagai pangan maupun sebagai obat dan kosmetika, untuk pemakaian oral, parenteral maupun topikal. Bahan obat dan kosmetik yang berpotensi haram karena pada umumnya dibuat dari bagian organ babi adalah kolagen, gelatin, cerebroside, insulin, heparin dan tripsin.

LPPOM MUI juga telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan plasenta manusia sebagai bahan obat. Pengkiasannya adalah bila bangkai manusia haram hukumnya maka plasenta sebagai bagian tubuh manusiapun haram hukumnya. Disamping itu harus diingat penggunaan alkohol dalam produk akhir sediaan farmasi tidak boleh melebihi 1%.

Karena itu bila ekstrak tanaman obat akan diformulasikan menjadi sediaan farmasi sebaiknya menghindari penambahan dengan bahan tambahan yang berasal dari babi dan plasenta seperti yang disebutkan di atas, serta kandungan alkoholnya tidak melebihi 1% agar kehalalannya terjaga.

Langkah 7:
Melakukan pengujian dan penilaian mutu, penetapan spesifikasi serta pembakuan secara bertahap terhadap sediaan farmasi berbahan baku ekstrak tanaman obat.

Langkah ini hampir sama dengan langkah 5, tetapi pengujian dilakukan terhadap sediaaan farmasi yang berbahan baku ekstrak tanaman obat. Untuk langkah ini disamping diperlukan penilai atau penguji memiliki kompetensi di bidang pengujian ini juga diperlukan mental yang baik agar tidak terjadi kerjasama yang tidak baik antara penilai dan produsen obat untuk dapat meloloskan obat yang tidak memenuhi syarat umum dan syarat kehalalan.

Pada umumnya hasil dari pengujian ini akan memasukkan obat sediaan farmasi berbahan baku tanaman obat ini menjadi 3 kelompok yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan dari bahan tanaman, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan bahan bakunya telah terstandarisasi. Sedangkan fitofarmaka adalah sediaan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dengan hewan percobaan dan uji klinis dengan manusia serta bahan baku dan produknya telah terstandarisasi (Wasito dan Herawati, 2008).

Langkah 8:
Mendekatkan sediaan galenik dan sediaan farmasi berbahan baku ekstrak tanaman obat pada pelayanan kesehatan masyarakat secara formal.

Langkah ini sangat penting untuk dilakukan. Pemerintah (dalam hal ini PPOM) telah melakukan penggolongan terhadap obat yang berasal dari tanaman ke dalam golongan jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Dan mungkin sosialisasi mengenai obat yang berbahan baku tanaman obat sudah dilakukan melalui sekolah, media massa, dakwah agama dan lain-lain. Tetapi kalau produk ini tidak didekatkan dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang berlaku saat ini maka pengembangan tanaman obat asli Indonesia akan menjadi kurang berarti.

Ada beberapa cara untuk pendekatan ini. Yang pertama adalah melalui jalur akademis di fakultas kedokteran dengan cara memasukkan pendidikan mengenai obat herba ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran. Dengan cara ini diharapkan calon dokter sudah mengenal tentang obat-obat berbahan baku tanaman obat sejak di fakultas, dan dapat mengaplikasikannya nanti dalam resep yang ditulisnya. Cara kedua adalah keberanian pemerintah untuk memasukkan pengobatan dengan bahan tradisional ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal yang ada di puskesmas dan rumah sakit seperti yang sudah dilakukan oleh Cina, Korea, India dan Srilanka. Bila langkah ini dilakukan maka pemanfaatan obat asli Indonesia akan terus berlangsung dalam jumlah yang meningkat. Hal ini akan memacu pula peningkatan proses produksinya.

Langkah 9:
Melakukan penelitian sinambung tentang tanaman obat asli Indonesia dan memperbanyak distribusi peralatan pengujian untuk tanaman obat.

Langkah ini penting agar pemahaman akan khasiat, efek samping, cara ekstraksi, cara produksi, stabilitas bahan berkhasiat, pengaruh waktu dan tempat tanam dan lain-lain dari tanaman obat asli Indonesia senantiasa bertambah. Pemahaman yang lebih baik akan membuat konsumen tidak ragu untuk mengkonsumsinya. Sedangkan mengenai distribusi alat pengujian ini penting dilakukan mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas dan tanaman obat asli Indonesiapun tersebar di berbagai wilayah yang luas itu. Akan sangat baik bila ada kebijakan pemerintah untuk meratakan distribusi peralatan pengujian spektrofotodensitometri, HPLC, NMR dan lain-lain, baik yang dimiliki oleh perguruan tinggi ataupun instansi pemerintah yang lain (misalnya di balai penelitian tanaman obat yang tersebar di semua propinsi), agar penelitian tentang tanaman obat di berbagai wilayah di Indonesia tidak terhambat karena masalah peralatan.

Langkah 10:
Membuat peraturan perundangan yang jelas mengenai syarat-syarat, cara memproduksi yang baik, cara pengujian, pemakaiannya untuk pelayanan kesehatan dan lain-lain untuk sediaan galenik / sediaan farmasi yang berbahan baku ekstrak tanaman obat. Juga melakukan pengawasan sinambung terhadap proses pembuatan dan distribusi obat dari bahan alam ini. Persyaratan perundangan juga harus mencantumkan kewajiban produsen untuk memperoleh sertifikat halal dari MUI untuk setiap produk yang dihasilkannya. Untuk ini maka seyogyanya dipilih pelaksana yang memiliki penilaian moral yang baik agar tidak terjadi kecurangan dalam pembuatan produk perundangan maupun proses pengawasan pelaksanaaanya.

Langkah 11:
Menggalang kerjasama antar berbagai pihak seperti pemerintah, industri obat tradisional dan industri farmasi, peneliti, perguruan tinggi baik secara nasional maupun internasional dan MUI untuk meningkatkan pemanfaatan dan pengolahan obat asli Indonesia sehingga dapat dikonsumsi secara aman, mutu terjamin dan halal.



Bagian 3
Penutup


Dibutuhkan usaha dan kerja keras setiap umat Islam agar pengembangan obat asli Indonesia tidak mengarah pada produksi sediaan farmasi yang meskipun aman, berkhasiat, bermutu baik tapi bersifat syubhat, belum jelas halal dan haramnya. Harus dirintis dari sekarang agar semua usaha pengembangan obat asli Indonesia bermuara pada terwujudnya sediaan galenik atau farmasi berbahan baku ekstrak tanaman obat asli Indonesia yang aman, berkhasiat, bermutu baik dan halal. Semua apoteker muslim harus berperan aktif untuk mewujudkan harapan tersebut.

Tidak ada komentar: