Sabtu, April 03, 2010

Doa Kang Suto

Berikut ini jatah postingku hari Kamis kemarin (tentang Literary).

Sebagai muslimah, alhamdulillah semangatku untuk tetap belajar memahami kitab suci Al Qur’an masih tetap tinggi. Aku masih tetap ingin memperbaiki tajwidku, dan aku ingin belajar tafsir, agar pemahamanku tidak terbatas pada apa yang tersurat dalam Al Qur’an saja. Baru-baru ini keinginanku untuk mulai belajar tafsir muncul lagi setelah beberapa tahun lamanya semangatku anjlok karena ’bete’.

Kejadian yang bikin aku bete itu terjadi di Surabaya kira-kira 8 tahun yang lalu. Aku memperoleh info dari teman kalau di suatu masjid pengajaran tentang tafsir Al Qur’an nya OK banget. Akupun mendaftar untuk belajar. Ternyata aku harus melewati test untuk bisa bergabung belajar tafsir. Test nya berupa membaca Al Qur’an. Hasil test aku dinyatakan tidak lulus, karena tajwid masih perlu dipoles (jelasnya makhorijal hurufnya tidak jelas) dan panjang pendek bacaan belum konsisten. Walhasil aku disarankan untuk masuk kelas belajar membaca Al Qur’an lagi. Setahun aku belajar membaca Al Qur’an, (bersama-sama dengan teman-teman yang kualitas bacaannya di bawahku), akibatnya aku bosan dan memilih mengaji sendiri di rumah. Aku agak jengkel, dan berpikir, kalau semua masjid menerapkan sistem seperti itu, kapan kita bisa belajar tafsir? Aku meyakini untuk belajar tafsir kita harus berguru pada yang ahli, agar pemahaman kita tidak melenceng. Untuk belajar tafsir memang kita harus memiliki kemampuan untuk membaca Al Qur’an, dalam arti memahami huruf per huruf, kaidah penulisan dan penyambungan huruf serta semua tanda bacaan. Tetapi aku kira untuk berguru tafsir tidak harus kita sudah sempurna bacaan makhorijal huruf serta panjang pendeknya bacaan. Kalau syarat terakhir ini diterapkan trus kapan umat ini memahami isi kitab sucinya? Orang seperti kang Suto pun kali sampai mati tidak dapat kesempatan untuk berguru tafsir. Menurut pendapatku, di masjid-masjid, majelis ta’lim semestinya tidak memberikan syarat yang begitu berat seperti yang aku tulis di atas, agar umat ini dapat dengan paralel belajar memperbaiki bacaan Al Qur’an nya dan sekaligus berguru tafsir.

Tapi nanti dulu, siapa sih kang Suto yang aku sebut-sebut tadi? Sebelumnya aku jelaskan ya...judul postinganku kali ini aku ambil dari sub judul bukunya kang Mohamad Sobary (’Kang Sejo Melihat Tuhan’, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, cetakan kedua tahun 1993, halaman 55-57). Aku termasuk yang cocok dengan falsafah kang Mohamad Sobary dan suka membaca tulisan-tulisannya. Untuk lebih mengenal Kang Suto, sebaiknya aku tuliskan sebagian dari tulisan kang Mohammad Sobary di buku itu yang sub judulnya adalah ’Doa Kang Suto’ ya.....

.............................
Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak tahu. Diapun menemui pak ustad untuk minta bimbingan, setapak demi setapak.

Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena, biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya, ”Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak diterima. Repotnya malaikat yang mencatat ilmu kita cuma tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita tak sia-sia”.

Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngajipun dimulai. Alip, ba, ta dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang Suto sudah keringat dingin. Digebukpun tak bakal ia bisa menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, ’ain itu tidak ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya kurang lebih, ngain.

Ain, Pak Suto,” kata Ustad Bentong bin H. Sabit.
Ngain,” kata Kang Suto.
” Ya kaga bisa nyang begini mah,” pikir ustad.

Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto diajarinya Alfatika.

Al-kham-du...,” tuntun guru barunya.
Al-kam-du...” Kang Suto menirukan. Gurunya bilang, ”Salah.”
Alkhamdulillah...’” panjang sekalian pikir gurunya itu.
Lha kam ndu lilah...” Guru itu menarik napas. Dia merasa wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak sembarangan. Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah arti Quran.

Kang Suto takut. ”Mau belajar malah cari dosa,” gerutunya.
Ia tahu, saya tak paham soal kitab, Tapi ia datang ke rumah, minta pandangan keagamaan saya.
”Begini Kang,” akhirnya saya menjawab. ”Kalau ada ustad yang bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, urusan Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka semua, dan surga isinya cuma Arab melulu.”

Kang Suto mengangguk-angguk.
Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang tak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Tuhan. ”Biarkan, Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan lidahnya.”

Sira guru nyong”, (kau guruku) katanya, gembira.
Sering kami lalu bicara agama dengan sudut pandang Jawa. Kami menggunakan sikap semeleh, berserah, pada Dia Yang Maha Welas dan Asih. Dan sayapun tak berkeberatan ia zikir, ”Arokmanirokim,” (Yang Pemurah, Pengasih).

Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami salat di teras masjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia membisikkan kegelisahannya pada Tuhan.
”Ya tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tidak fasih ini. Salahkah hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas,,,,”
Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya, masjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan Kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi.....
.............................................................
Jadi sekali lagi, menurut pendapatku, di masjid-masjid, majelis ta’lim semestinya tidak memberikan syarat yang begitu berat seperti yang aku tulis di atas, agar umat ini dapat dengan paralel belajar memperbaiki bacaan Al Qur’an nya dan sekaligus berguru tafsir. Dan para da’i / ustad semestinya memperbaiki metoda berdakwah/mengajar nya. Orang seperti Kang Suto semestinya tidak diajar dengan metoda yang sama dengan anak atau orang yang sudah melek huruf Arab dalam waktu yang lama......

Tidak ada komentar: