Tampilkan postingan dengan label Literary. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Literary. Tampilkan semua postingan

Kamis, Desember 04, 2014

Di Atas Langit Ada Langit



Aku agak bingung mau kasi judul apa untuk postinganku hari ini. Sebetulnya aku mau cerita tentang superioritas, yang tidak pernah mutlak bagi semua makhluq di duni ini. Semua yang dianggap super atawa paling hebat tu ternyata selalu ada yang mengalahkan, menjatuhkan, meluluhlantakkan....apapun istilahnya. Karena blogku ini kupakai untuk sharing maka akan ku share tentang hilangnya keperkasaan kumbang koksi karena ulah penyengat parasit. Share ku kali ini kuambil dari artikel di Majalah National Geographic Indonesia, edisi November 2014, tentang Perenggut Sukma, Momok Bagi Makhluk di Alam Bebas, ditulis oleh Carl Zimmer, Foto oleh Anand Varma dan Novela Grafis oleh Matthew Twombly.
Bisa anda search di ...http://nationalgeographic.co.id/feature/2014/11/parasit-perenggut-sukma?kode=0120#
Begini artikelnya itu.....

Sungguh menakjubkan sekaligus menyedihkan, kumbang soksi menjadi mayat hidup..
Biasanya kumbang koksi (Coleomegilla maculata) merupakan predator yang rakus dan cerdas. Seekor kumbang ini dapat menyantap ribuan kutu daun selama masa hidupnya. Untuk mencari mangsa, kumbang ini pertama menggerak-gerakkan antenanya guna mendeteksi zat kimia yang dilepaskan tanaman saat diserang serangga herbivora. Setelah menemukan sumber sinyal tersebut, kumbang koksi menggunakan sensor lainnya untuk mencari molekul yang hanya dikeluarkan oleh kutu daun. Kemudian dia diam-diam mendekat dan menyergap, merobek sang kutu daun dengan rahangnya yang bergerigi.
Kumbang koksi juga memiliki perlindungan yang sangat ampuh terhadap sebagian besar musuhnya. Sayap perisainya yang berwarna merah totol hitam, sangat cantik di mata manusia, tetapi berfungsi peringatan bagi pemangsa: Jangan coba-coba! Apabila ada burung atau hewan lain yang mencoba menyerang, kumbang koksi mengeluarkan darah beracun dari sendi kakinya. Begitu merasakan darah pahit tersebut, penyerang akan memuntahkan kembali kumbang koksi itu. Akhirnya pemangsa mengenali sayap-luar merah totol hitam itu sebagai peringatan agar tidak diganggu.
Sebagai pemangsa yang terlindung dari pemangsa lain, kumbang koksi sepertinya memiliki kehidupan serangga yang sempurna –andai tidak ada penyengat yang suka bertelur dalam tubuhnya.
Salah satu penyengat tersebut, Dinocampus coccinellae , seukuran coklat tabur. Saat penyengat betina siap bertelur, dia hinggap di dekat kumbang koksi dan dengan cepat menusukkan sengatnya ke perut kumbang, memasukkan telur beserta campuran berbagai zat kimia ke tubuh korbannya. Setelah telur menetas, larva menyantap cairan yang ada dalam rongga tubuh inangnya.
Meskipun kumbang koksi digerogoti perlahan dar dalam, ia tetap melahap kutu daun dengan bersemangat. Namun gizi dari mangsa yang dicernanya kini dugunakan untuk pertumbuhan parasit dalam tubuhnya. Sekitar tiga minggu kemudian, larva penyengat telah siap untuk meni nggalkan inangnya dan bermetamorfosis menjadi hewan dewasa. Dia menggeruit keluar melalui celah rangka-luar sang kumbang.
Meskipun jasad sang kumbang sekarang telah bebas dari parasit tersebut, sukmanya masih tetap terkuasai. Sementara larva penyengat membungkus dirinya dengan kepompong sutra di bawah tubuhnya, kumbang koksi tersebut diam mematung.


Dari sudut pandang sang penyengat, ini anugerah yang luar biasa. Pupa penyengat D. coccinellae  yang sedang berubah di dalam kepompong tidak bisa membela diri. Dia mangsa empuk bagi ulat ulat lalat-jala dan serangga lainnya. Untung baginya, apabila salah satu predator lain mendekat, kumbang koksi akan mennggerak-gerakkan kakinya, mengusir sang penyerang. Singkat kata, dia menjadi centeng sang benalu. Dan dia terus memainkan peran ini selama seminggu, sampai sang penyengat dewasa melubangi kepompong dengan rahangnya, merangkak keluar dan terbang.

 
Barulah kemudian sebagian besar zombi kumbang koksi menemui ajalnya, setelah merampungkan pengabdiannya kepada parasit tersebut......
..............
Begitulah ....Subhanallah...Dari artikel tersebut kita bisa menilai dengan sudut pandang,  bahwa di atas langit ada langit. Selalu saja ada yang mengalahkan yang dianggap super. Dan tidakkah itu membuat kita berpikir, bahwa The Supreme nya tentunya adalah dalang dari semua action tersebut, Sang Khaliq kita, yang tidak ada yang lebih mengunggulinya.
Insya Allah, semoga sharing kali ini mengantar dan lebih mendekatkan kita pada The Supreme tersebut.....

Jumat, Maret 07, 2014

Film The Raven dan Edgar Allan Poe



Kamis kemarin speedyku bermasyalah jadi posting literaryku gak bisa diposting. Baru Jumat ini aku post.
Belum lama ini aku nonton film The Raven di Usee TV. The Raven artinya burung gagak, tapi  di film tersebut tidak ada yang berhubungan dengan burung gagak sama sekali. Film ini campuran antara kisah nyata dan fiksi. Kisah nyata karena menceritakan bagaimana dan kapan Edgar Allan Poe ditemukan sekarat di sebuah taman di Baltimore pada tanggal 3 Oktober 1849, hingga akhirnya meninggal pada tanggal 7 Oktober 1849 di Rumah Sakit Washington Medical College. Fiksi, karena film ini mereka-reka tentang sebab kematian Poe. Koran pada masa itu menyebutkan kematian Poe adalah akibat inflamasi cerebral atau brain congestion dan malam menjelang kematiannya Poe berulangkali mendesahkan kata ....Reynolds... Desahan Poe sebelum meninggal ini yang dijadikan bahan cerita fiksi pada film The Raven yang aku tonton itu......
Ngemeng-ngemeng, pada kenal Edgar Allan Poe gak?  Edgar Allan Poe (19-1-1809  s/d  7-10-1849) adalah seorang Amerika dikenal sebagai penulis, penyair, editor dan kritikus sastra. Dianggap sebagai penemu genre fiksi detektif dan mendorong lahirnya genre fiksi sains. Diia bisa dibilang sebagai seorang arsitek cerpen modern. Dia terkenal dengan karya kisahnya yang penuh mistery dan mengerikan (mystery and macabre tales). Aku pertama kali mengenal Poe dari buku-buku koleksi ayahku yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yang aku baca sejak aku masih di SMA. Yang kubaca bertama kali adalah yang berjudul  ‘Bandulan Maut’, judul aslinya adalah The Pit and The Pendulum. Itu cerita tentang Nicholas Medina, seorang bangsawan Eropa yang penuh misteri, , yang istrinya meninggal , yang rumahnya penuh dengan alat siksa peninggalan leluhurnya dan konon alat itu selalu berbunyi  dan selalu ada bisikan memanggil Nicholas Medina.....ujung-ujungnya semua misteri itu adalah suatu kejahatan yang ternyata dilakukan oleh istri Nicholas yang ternyata belum meninggal. Ada  beberapa lagi karya Poe yang aku baca dari buku Seri Fiksi Klasik terbitan Penerbit Nuansa yang aku beli.  Di situ ada karyanya yang berjudul Tong Anggur (The Cask of Amontilado), Topeng Maut Merah (The Masque of The Red Death), Sebuah Kisah (The Premature Burrial)  dan Kucing Hitam (The Black Cat). Bagi kalian suka ketegangan maka karya-karya Poe cocok dan rasanya akan memuaskan kalian.
Balik ke The Raven,  ceritanya berkisah tentang masyarakat Baltimore dan kehidupan pribadi Poe tahun 1849. Poe, masa itu bekerja sebagai kolumnis di harian Patriot dan menjalin hubungn asmara dengan Emily, putri  seorang pemuka masyarakat. Cerita dibuka dengan terjadinya pembunuhan di sebuah rumah yang modusnya seperti pada alur cerita yang ditulis Poe pada salah satu bukunya. Sehingga Poe dijadikan tersangka. Dan ketika masih ditahan polisi terjadi lagi pembunuhan lagi yang seperti alur cerita yang ditulis Poe di buku yang lain, yang sesungguhnya merupakan fiksi karangannya saja (bukan berdasar kejadian nyata). Motif kejahatan jadi tidak jelas. Akhirnya Poe digandeng pihak kepolisisan untuk mengungkap semua kasus itu. Ujungnya pembunuh mengincar Emily, dia menculik Emily pada pesta yang diadakan oleh ayahnya dan menyekap Emily seperti pada salah satu plot cerita yang ditulis Poe. Akhirnya Poe mengikuti setiap plot yang dilakukan si pembunuh dan memastikan pelaku adalah orang dalam penerbit Patriot, dugaannya adalah pemimpin redaksinya. Tetapi ternyata pemimpin redaksinya sudah mati bersimbah darah, jadi tinggal si petugas ofset yang bernama Ivan Reynolds. Ivan Reynolds adalah penggemar berat Poe, yang sinting. Dia mempraktekkan semua plot Poe untuk menarik agar Poe mampu menebak siapa pelaku semua itu. Reynolds memaksa Poe meminum racun dan meninggalkannya. Poe terus mengikuti plot dan bisa menemukan Emily yang disekap di bawah ruang kerja Reynolds. Emily selamat tapi Poe menghilang, ternyata dia duduk di taman, efek racun yang diminumnya sudah parah dan Poe meracau berkali-kali menyebut nama Reynolds. Poe dirawat di rumah sakit tapi akhirnya meninggal (seperti kenyataannnya). Sedangkan detektif polisi akhirnya bisa menemukan Reynolds pada saat dia hendak kabur ke luar negeri.....
Kisah yang lumayan....
Film ini dibintangi oleh John Cussack (Poe), luke Evans (detektif polisi Fields), disutradarai oleh James McTeigue, skenario dibuat oleh Ben Livingstone dan Hannah Shakespeare, diproduseri oleh Marc D. Evans, Trevor Macy dan Aaron Ryder, dirilis bulan Maret 2012. Skenario kataku pinter dalam arti plot  pembunuhannya disesuaikan dengan plot yang ada di beberapa karya Poe, kecuali pas Reynolds memaksa Poe minum racun (skenarionya bodoh ) , kataku aneh banget kalo Poe langsung mau tanpa perlawanan sama sekali. Kurang seru deh. Tapi lumayan, tokoh seperti Emily dan Ivan Reynolds seperti nya murni karangan skenario film ini.
Ada yang menarik di film ini (barangkali di sana bisa mengundang protes sanak sodara Rufus Griswold), korban pembunuhan kedua di film ini dinyatakan sebagai Rufus Griswold, yang dibunuh dengan cara dijatuhi pisau guillotine seperti plot dalam kisah The Pit and The Pendullum karya Poe. Mayat Griswold di film itu  amburadul banget dah. Pada kenyataannya RufusWilmot  Griswold itu adalah orang yang bener-bener ada. Dia seorang editor, kritikus dan antologis yang merupakan musuh bebuyutan Poe sejak 1842. Segera setelah kematian Poe, Griswold dikenal sebagai literary excecutor  dan merusak reputasi Poe. Tapi di film The Raven ini Griswold dibunuh dengan pisau Guillotine yang ada di plot karya Poe. He..he..sepertinya penulis skenario ini memang penggemar berat Poe.  Satu lagi judulnya itu lho kok ya The Raven,  padahal itu kan judul puisi Poe yang terkenal...yang sepertinya tidak ada sangkut pautnya dengan alur cerita di film ini.....ya tapi si pembuat film kali memang  penginnya judulnya itu, mau apa lagi.....he..he...
Aku bukan kritikus film, aku hanya penikmat dan membagi cerita film dan pengetahuanku dengan anda sekalian. Semoga tulisanku ini dapat anda nikmati....

Kamis, Februari 27, 2014

Fragile



Lagunya Sting ini enak didengar, syairnyapun sarat makna. DVD live shownya yang di Belanda pun asyik banget ditonton. Sting dengan kepalanya yang makin botak, dengan coat dan syalnya, waahh kereeeen banget......

If blood will flow when flesh and steel are one
Drying in the colour of the evening sun
Tomorrow's rain will wash the stains away
But something in our minds will always stay

Perhaps this final act was meant
To clinch a lifetime's argument
That nothing comes from violence and nothing ever could
For all those born beneath an angry star
Lest we forget how fragile we are

On and on the rain will fall
Like tears from a star like tears from a star
On and on the rain will say
How fragile we are how fragile we are

On and on the rain will fall
Like tears from a star like tears from a star
On and on the rain will say
How fragile we are how fragile we are
How fragile we are how fragile we are
.............

Jumat, Desember 17, 2010

The Lives of Man

This should be my literary Thursday posting which was delayed (I was so busy with gardening yesterday). This posting is about something that I hope will remind all of us about the goal of our life. Barakallah.....

This posting is excerpts from 'The Lives of Man' by Imam al Haddad as delivered to me from Mrs. Iffath Hassan........

The First Life: (Life Before Conception)"The first life began with the creation of Adam, upon whom be peace, and the entrusting of his progeniture to his blessed loins, both the people of the Right and those of the Left, namely the people of the Two Fistfuls. Then God brought this progeniture out from Adam's loins all at once, to take the covenant that they recognized (His) Unity and Lordship." "Because of these events there can be no doubt that the progeniture was possessed of existence, hearing and speech; this, however, was at a degree or dimension of existence other than that of this world."

We must also know that the Prophet Muhammad (Sallallahu 'alahi wa Sallam) had a more perfect and unique stature in this stage, so much so that his light (peace be upon him) could be heard glorifying Allah while within Adam's (peace be upon him) loins, making a sound like that of birds.

The Second Life: ("Dunya" - The Lower World.)"The second life begins when one is delivered from one's mother's womb, and ends when one departs from the world in death. This which is the middle of the lives, is also their purpose. It is the period when man is held accountable for (responding to) the divine injunctions and prohibitions, the consequences of which will be reward or punishment, endless happiness in the proximity of God, the High and Majestic, or perpetual torment and remoteness from Him."

This section of existence is essentially broken down into the stages of Gestation, Childhood, Youth, Maturity, Seniority, Decrepitude, and ultimately Sickness and Death. The Imam beautifully explains the important aspects of each of these sub-stages and gives wise council and advice as to how to understand and succeed in them. Ultimately the key to understanding the gist of this chapter can be summed up in the Hadith which is mentioned at the end of the Afterward stating: "A man dies in accordance with what he had lived in, and is resurrected in accordance with what he had died in." (Hadith)
In another narration of Hadith the Holy Prophet (Sallallahu 'alahi wa Sallam) stated to Abu Darr: "O Abu Darr! The world is the prison of the believer, the grave his place of safety, and the Garden his end. O Abu Darr! The world is the Garden of the disbeliever, the grave is his torment, and the Fire his end."

May Allah make us one of those who dwell in the Garden of the Afterlife, Amen!

The Third Life: (The Intermediate Realm)"The third life extends from the time a man leaves the dunya at death until the moment he rises from his grave at the blowing of the Horn. This is the Intermediate Realm(Barzakh). God the Exalted has said:
And behind them is a barzakh until the day when they are raised. (23:100)

In this section Imam Al-Haddad breaks the chapter into several useful categories, namely; a Description of the Torment of the Grave and its Aspects, How the Living May Help the Dead, and Visiting the Graves.

Perhaps one of the most striking aspects of this chapter appears in the Afterword in which it is stated: "Created beings may, however, know about those signs and conditions which indicate its imminent advent. Many of these, which are described in many sound hadiths, have already come about, and only the major ones such as the sun rising from the West, the Dajjal (God curse him!), the Beast, and the coming of Jesus remain."

The Fourth Life: (Judgement Day)"The fourth life extends from the time when a person leaves his grave for the Resurrection and Gathering, until the moment when mankind enter the Garden or the Fire."
Imam Al-Haddad uses this section to highlight the dire situation of the last day and the different events which will occur. This section is broken down into the sub-sections of; The Balance and the Bridge, The Hawd, and The Intercession. Each of these areas are dealt with in the necessary details with mention of why we would be in our specific predicament at that time and the ways to avoid bearing the sorrowful and difficult punishments and trials on that day. Perhaps one of the most riveting quotes from this chapter is a quotation from the Holy Qur'an relating to after the animals are given their judgment and due and God says to them "Become dust!"
"At that the disbeliever will say, would that I were dust!"(78:40)

The noble Imam goes on to highlight in detail, the respect, honor, and elevation that the Holy Prophet Muhammed (Sallallahu 'alahi wa Sallam) will have on that day, and the relief that will be permitted to the believers through his intercession (shafa'a)

The Fifth Life: (The Fire and the Garden)"The fifth life extends from the time the people of the Fire enter the Fire and the people of the Garden enter the Garden, and continues into unending, limitless eternity.

This is the longest of all lives, the best, most pleasant and most joyous for the people of the Garden, and the worst, hardest, and most hateful and wretched for the people of the Fire."

This section outlines details pertaining to the Fire, admonitions, and advise as to how to avoid spending time in this wretched and painful place. To give a taste of the severity of this place the Imam relates Quranic verses and hadith including the following: "O people! Weep! And if you cannot weep then make as though you were weeping, for the people of the Fire shall weep in Jahannam until their tears run over their faces like streams. Then the tears will stop, blood will flow, and eyes ulcerate, so that if ships were launched therein they would float." (Hadith)

The Imam goes on to elucidate aspects of the Garden and its countless pleasures, the foremost being the beatific vision of Allah. Relating to one of the beautiful aspects of the Garden, Imam Al-Haddad quotes the Hadith stating: "The area of the Garden which could be surrounded by a whip is better than the world and all that it contains. Should one of the women of the Garden appear to the people of the earth, she would illuminate it entirely, and render it fragrant with musk. The scarf which is upon her head is better than the world and all it contains."

The treatise is concluded in accordance with classical Islamic tradition, with a description of the vision of God, and His overwhelming Mercy. In the final section Imam al-Haddad quotes the Hadith stating: "God has a hundred mercies, one of which He has sent down to be divided between humans, jinn, birds, cattle, and insects, and by which they have compasion and mercy towards each other. And He has saved ninety-nine mercies, with which He will be merciful to His slaves on the Day of Rising."

...........

Kamis, Desember 09, 2010

The Measure of A Man, By Sidney Poitier

Kamis ini jatahnya nulis tentang Literary, aku mau posting tentang bukunya Sidney Poitier, The Measure of A Man, a spiritual autobiography. Buku ini nangkring jadi penghuni rak perpustakaan kami setelah dibeli Herlan dari toko buku yang ada di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.
Sidney Poitier, lelaki kulit hitam kelahiran 20 Februari 1927, dari lingkungan miskin di Cat Island Bahama menjelma menjadi bintang Hollywood, pemenang Academy Award sebagai best actor di film Lilies of the Field (1963), dan bermain bagus di film The Defiant Ones, A Patch of Blue, Guess Who’s Coming to Dinner dan To Sir, With Love. Kalo liat judul filmnya, orang yg setengah tuwir kayak akupun kayaknya nggak pernah deh nonton, film kuno banget. Ngefans sebagai aktor ke Sidney juga kagak (gimana ngefans wong nonton filmnya aja gak pernah). Tapi aku serasa mengenalnya dengan baik dg membaca buku otobiografinya ini.
Diterbitkan oleh HarperSanFrancisco (A Division of HarperCollinPublishers), tahun 2000, buku 255 halaman ini bercerita tentang kehidupan Sidney Poitier, mulai dari masa kecilnya di Bahama, masa remajanya, masa suksesnya sebagai bintang Hollywood dan pandangan introspektifnya terhadap hidupnya sebagai anak, suami, ayah dan seorang aktor.
Buku ini sesungguhnya bercerita tentang kehidupan bukan sekedar kehidupan makhluk bernama Sidney Poitier. Banyak pelajaran tentang kehidupan yang bisa kita ambil dari buku ini, tentang pengorbanan dan komitmen, kebanggaan dan kerendahan hati, kemarahan dan pemberian maaf serta harga kepantasan untuk menghargai integritas seorang aktor. Ya, Sidney berhasil membawa kita tidak sekedar mengenalnya, tetapi juga (semoga) memahami tentang bermaknanya kehidupan ini. Seperti yang ditulisnya...
.....I decided that I wanted to write a book about life. Just life itself. What I’ve learned by living more than seventy years of it. What I absorbed through my early experiences in a certain time and place, and what I absorbed, certainly without knowing it, through the blood of my parents, and through the blood of their parents before them.
.....I felt called to write about certain values, such as integrity and commitment, faith and forgiveness, about the virtues of simplicity, about the difference between ‘amusing ourselves to death’ and finding meaningful pleasures, even joy. But I have no wish to play the pontificating fool, pretending that I've suddenly come up with the answers to all life's questions. Quite the contrary, I began this book as an exploration, an exercise in selfquestioning. In other words, I wanted to find out, as I looked back at a long and complicated life, with many twists and turns, how well I've done at measuring up to the values I myself have set......
Terdiri dari sebelas bab, dengan pilihan kata sederhana, bersahabat dan menyentuh. Favoritku adalah bab terakhir berjudul ‘The Measure of A Man’ yang menceritakan mimpinya bersama sahabatnya, Charley Blackwell, yang menutup buku ini dengan bahasa yang sangat indah, sangat menyentuh dan sarat makna...
......Human life is a highly imperfect system, filled with subordinate imperfections all the way down. The only thing we know for sure is that in another eight billion years it will all be over. Our sun will have spent itself; and the day it expires, you’ll hear the crunch all over this solar system, because then everything will turn to absolute zero.
....But you can’t live focused on that. You can’t hang on to that. Anyway, luckily we puny individuals have only seventy-five or eighty-two or ninety-six years to look forward to, which is still a snap in the overall impenetrableness of time. So what we do is we stay within the context of what’s practical, what’s real, what dreams can be fashioned into reality, what values can send us to bed comfortably and make us courageus enough to face our end with character.
...That’s what we’re seeking. That’s what it’s all about, you know? We’re all of us little greedy. (Some of us are plenty greedy.) We’re all somewhat courageus, and we’re all considerably cowardly. We’re all imperfect, and life simply a perpetual, unending struggle against those imperfections......

Minggu, April 11, 2010

Filosofi Kopi

Hari Kamis, saatnya aku nulis tentang Literary….(makanya mestinya diposting Kamis kemarin, tapi karena meleset ya sudah diposting hari Minggu ini aja……)

Belum lama ini aku membaca buku Filosofi Kopi, yang berupa kumpulan cerita dan prosa satu dekade karya Dee (Dewi Lestari, si penulis Supernova itu). Buku yang dinyatakan sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 pilihan Majalah Tempo. Buku itu diterbitkan oleh Truedee Books dan GagasMedia, tahun 2006.

Bener, isinya kumpulan cerpen dan prosa pendek. Aku kok seneng pada cara Dee bercerita atau bertutur. Berterus terang dengan bahasa puitis, tapi tidak cengeng. Sukses mengantarkan jalan pikirannya yang akan diceritakan pada pembaca, dengan cara dan bahasa yang menyentuh. Filosofi Kopi adalah salah satu judul cerpennya pada buku itu. Cerpen lain yang aku suka adalah ‘Lara Lana’, topik yang common diungkapkan dengan sangat menyentuh hati.

Kalau mau ngintip cara bertuturnya Dee, ini tak kutipin salah satu prosa pendeknya yang bahasa dan maknanya sangat aku suka, judulnya ‘Spasi’…

Spasi
(1998)

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.

Pegang tanganku, tapi jangan teralu erat, karena aku ingin seiring bukan digiring.
………………….

Sabtu, April 03, 2010

Doa Kang Suto

Berikut ini jatah postingku hari Kamis kemarin (tentang Literary).

Sebagai muslimah, alhamdulillah semangatku untuk tetap belajar memahami kitab suci Al Qur’an masih tetap tinggi. Aku masih tetap ingin memperbaiki tajwidku, dan aku ingin belajar tafsir, agar pemahamanku tidak terbatas pada apa yang tersurat dalam Al Qur’an saja. Baru-baru ini keinginanku untuk mulai belajar tafsir muncul lagi setelah beberapa tahun lamanya semangatku anjlok karena ’bete’.

Kejadian yang bikin aku bete itu terjadi di Surabaya kira-kira 8 tahun yang lalu. Aku memperoleh info dari teman kalau di suatu masjid pengajaran tentang tafsir Al Qur’an nya OK banget. Akupun mendaftar untuk belajar. Ternyata aku harus melewati test untuk bisa bergabung belajar tafsir. Test nya berupa membaca Al Qur’an. Hasil test aku dinyatakan tidak lulus, karena tajwid masih perlu dipoles (jelasnya makhorijal hurufnya tidak jelas) dan panjang pendek bacaan belum konsisten. Walhasil aku disarankan untuk masuk kelas belajar membaca Al Qur’an lagi. Setahun aku belajar membaca Al Qur’an, (bersama-sama dengan teman-teman yang kualitas bacaannya di bawahku), akibatnya aku bosan dan memilih mengaji sendiri di rumah. Aku agak jengkel, dan berpikir, kalau semua masjid menerapkan sistem seperti itu, kapan kita bisa belajar tafsir? Aku meyakini untuk belajar tafsir kita harus berguru pada yang ahli, agar pemahaman kita tidak melenceng. Untuk belajar tafsir memang kita harus memiliki kemampuan untuk membaca Al Qur’an, dalam arti memahami huruf per huruf, kaidah penulisan dan penyambungan huruf serta semua tanda bacaan. Tetapi aku kira untuk berguru tafsir tidak harus kita sudah sempurna bacaan makhorijal huruf serta panjang pendeknya bacaan. Kalau syarat terakhir ini diterapkan trus kapan umat ini memahami isi kitab sucinya? Orang seperti kang Suto pun kali sampai mati tidak dapat kesempatan untuk berguru tafsir. Menurut pendapatku, di masjid-masjid, majelis ta’lim semestinya tidak memberikan syarat yang begitu berat seperti yang aku tulis di atas, agar umat ini dapat dengan paralel belajar memperbaiki bacaan Al Qur’an nya dan sekaligus berguru tafsir.

Tapi nanti dulu, siapa sih kang Suto yang aku sebut-sebut tadi? Sebelumnya aku jelaskan ya...judul postinganku kali ini aku ambil dari sub judul bukunya kang Mohamad Sobary (’Kang Sejo Melihat Tuhan’, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, cetakan kedua tahun 1993, halaman 55-57). Aku termasuk yang cocok dengan falsafah kang Mohamad Sobary dan suka membaca tulisan-tulisannya. Untuk lebih mengenal Kang Suto, sebaiknya aku tuliskan sebagian dari tulisan kang Mohammad Sobary di buku itu yang sub judulnya adalah ’Doa Kang Suto’ ya.....

.............................
Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak tahu. Diapun menemui pak ustad untuk minta bimbingan, setapak demi setapak.

Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena, biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya, ”Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak diterima. Repotnya malaikat yang mencatat ilmu kita cuma tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita tak sia-sia”.

Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngajipun dimulai. Alip, ba, ta dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang Suto sudah keringat dingin. Digebukpun tak bakal ia bisa menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, ’ain itu tidak ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya kurang lebih, ngain.

Ain, Pak Suto,” kata Ustad Bentong bin H. Sabit.
Ngain,” kata Kang Suto.
” Ya kaga bisa nyang begini mah,” pikir ustad.

Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto diajarinya Alfatika.

Al-kham-du...,” tuntun guru barunya.
Al-kam-du...” Kang Suto menirukan. Gurunya bilang, ”Salah.”
Alkhamdulillah...’” panjang sekalian pikir gurunya itu.
Lha kam ndu lilah...” Guru itu menarik napas. Dia merasa wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak sembarangan. Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah arti Quran.

Kang Suto takut. ”Mau belajar malah cari dosa,” gerutunya.
Ia tahu, saya tak paham soal kitab, Tapi ia datang ke rumah, minta pandangan keagamaan saya.
”Begini Kang,” akhirnya saya menjawab. ”Kalau ada ustad yang bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, urusan Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka semua, dan surga isinya cuma Arab melulu.”

Kang Suto mengangguk-angguk.
Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang tak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Tuhan. ”Biarkan, Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan lidahnya.”

Sira guru nyong”, (kau guruku) katanya, gembira.
Sering kami lalu bicara agama dengan sudut pandang Jawa. Kami menggunakan sikap semeleh, berserah, pada Dia Yang Maha Welas dan Asih. Dan sayapun tak berkeberatan ia zikir, ”Arokmanirokim,” (Yang Pemurah, Pengasih).

Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami salat di teras masjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia membisikkan kegelisahannya pada Tuhan.
”Ya tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tidak fasih ini. Salahkah hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas,,,,”
Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya, masjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan Kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi.....
.............................................................
Jadi sekali lagi, menurut pendapatku, di masjid-masjid, majelis ta’lim semestinya tidak memberikan syarat yang begitu berat seperti yang aku tulis di atas, agar umat ini dapat dengan paralel belajar memperbaiki bacaan Al Qur’an nya dan sekaligus berguru tafsir. Dan para da’i / ustad semestinya memperbaiki metoda berdakwah/mengajar nya. Orang seperti Kang Suto semestinya tidak diajar dengan metoda yang sama dengan anak atau orang yang sudah melek huruf Arab dalam waktu yang lama......

Kamis, November 12, 2009

Remind it……

This posting was taken from The Book of
Assistance, which is written by Imam ‘Abdallah ibn ‘Alawi Al Haddad, as resumed by Mrs. Iffath Hasan….

Whenever you notice in your soul any laziness in His worship
or inclination to disobedience, remind it that God hears and sees you, and knows your secrets and secret conversation.

If this reminding does not benefit it because of inadequacy of its knowledge of the Majesty of God, remind it of the two noble angels who record good and evil deeds.

If this reminding does not influence it, remind it of the proximity of death, that it is the nearest of all hidden and awaited things; frighten it of its sudden pouncing, whereby if it does come when it is in an unsatisfactory state it will end up in endless perdition.

If this threat is of no use, remind it of the immense reward
which God has promised those who obey Him, and the painful torment with which He has threatened those who disobey Him. Say to it: 'O soul! After death there will be no opportunity to repent, and there will be, after this life, only the Garden or the Fire. Choose, if you will, obedience, the consequence of which is triumph, contentment, immortality in vast gardens, and looking at the Face of God, the Generous, the Beneficent; or else disobedience, the consequence of which is degradation, humiliation, mockery, deprivation, and imprisonment between layers of fire.' Endeavor to cure your soul through such reminders when it neglects obedience and inclines to rebellion, for they are useful medicines for the heart's diseases……

Jumat, Oktober 16, 2009

Pemimpin Menurut Robin Sharma

Tulisan ini mestinya aku post hari Kamis kemarin, tapi berhubung aku sibuk di tempat kerja sehingga pulang sudah capek, jadinya baru Jum'at ini aku post.


Pemimpin Menurut Robin Sharma

Robin Sharma dalam bukunya The Greatness Guide (terbitan PT Bhuana Ilmu Populer) menulis mengenai pemimpin:

Pemimpin besar tidak takut bersuara keras. Mereka menyuarakan kebenaran. Mereka mengikuti kompetisi mereka sendiri., membuat keputusan yang tepat dan tidak terlalu khawatir dengan pendapat umum. Mereka menerapkan keberanian mereka dalam tindakan.

Kepemimpinan yang luar biasa adalah keseimbangan antara lembut dan tegas, simpatik dan berani, sebagian menjadi orang suci dan sebagian menjadi pejuang, ramah dan cukup keras.

Menjadi seorang pemimpin bukanlah menjadi disukai orang, melainkan bagaimana melakukan hal yang benar.
.....................................

Aku paling cocok dengan pernyataan terakhir itu. Bagaimana anda dikatakan pemimpin yang baik kalau anda memberi contoh tindakan yang tidak benar...???

Sabtu, Oktober 10, 2009

Malaikat Pelipur Lara

Baru-baru ini aku membaca buku ‘Dialog dengan Para malaikat, Perspektif Sufi’, karangan Syaikh Muhammad Hisyam Karbani (Penerbit Hikmah, 2003). Ada tulisan yang menarik pada bab ‘ Urwah dan Malaikat Pelipur Lara’. Bagian itu aku share di sini ya…

Malaikat pelipur lara mengikuti malaikat duka lara. Begitu malaikat duka cita menyentuh hati seseorang dengan sayapnya, orang itu mulai menangis. Kesedihan merupakan penyakit jiwa dan merupakan ujian terberat yang Allah kirimkan kepada manusia untuk mengingatkan mereka agar mereke tidak mengejar-ngejar segala yang jasmaniah dan melupakan warisan kemalaikatan mereka. Para malaikat selalu mengingat Allah. Jika mereka berhenti, mereka dengan serta merta akan berhenti hidup. Demikian pula, manusia diperlukan untuk mengingat Yang Maha pencipta segala yang melingkupi mereka agar mereka hidup dalam kebahagiaan dan bersyukur.

Allah memerintahkan para malaikat untuk melayani mereka yang mengingatNya dan memerangi mereka yang melupakanNya. Ini bukan untuk menghukum mereka tapi untuk menolong dan membenarkan mereka. Ketika manusia menjadi lupa mengingat Allah dalam waktu yang panjang,karat bertambah di hatinya. Depresi mengendap dan melankoli menemukan rumah tetapnya. Inilah mengapa Nabi bersabda, ’Segala sesuatu ada semirnya, dan semir hati adalah zikir kepada Allah’.

Depresi adalah penyakit hati dan jiwa yang menjadi mungkin hanya melalui ketidakpedulian. Hati yang waspada menjaga kepercayaan, harapan dan iman (kepada Allah), gerbangnya akan dijaga oleh banyak malaikat pelindung. Mereka tidak akan mengijinkan kegelapan depresi dan keraguan untuk masuk. Hati manusia adalah harta yang berharga. Banyak pencuri yang bersembunyi di bayang-bayang sekelilingnya siap-siap merapok dan merampasnya. Bagaimanapun, jika pemilik harta itu kawan Allah, hati itu akan dilindungi. Para pelindungnya diberi makan dan dibayar dengan mata uang iman dan zikir. Jika tidak ada iman, tidak akan ada pelindung. Jika tidak ada zikir tidak akan ada gaji bagi para pelindung gerbang hati. Tanpa malaikat pelindung, pintu hati akan terbuka ke arah yang tidak diinginkan. Itulah mengapa Al Qur’an menekankan bahwa, ’Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam,’ (QS Al Isra [17] : 70). Yang dimaksud dengan pemuliaan itu adalah harta benda yang Allah tanamkan ke dalam hati manusia. Malaikat akan mengajarkan pada manusia untuk tidak pernah dapat dibohongi atau diambil cahaya kemalaikatan yang tertanam dalam hati mereka.

................................

Tulisan ini mestinya diposting hari Kamis lalu, tapi karena tiap pulang kerja sudah capek banget, jadi baru Sabtu ini aku post......

Kamis, September 10, 2009

Pelajaran dari Kisah Ramayana

Sebagian dari kita tentu mengenal kisah Ramayana, yang konon ditulis oleh Resi Walmiki. Sindhunata menuliskan kisah Ramayana ini dalam bukunya yang berjudul “Anak Bajang Menggiring Angin” (diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983).

Aku selalu merasa sedih dan menyesal setiap membaca bagian akhir dari buku itu. Rahwana sudah dibinasakan, Sinta sudah diselamatkan. Tapi Rama tetap menyangsikan kesucian Sinta.

Sinta : Rama, ketahuilah, tahun-tahun telah berlalu, belum sekecap aku menikmati kebahagiaan bersamamu. Aku telah ditakdirkan untuk menderita, penderitaan telah menjadi hidupku. Demikian penderitaan telah menjadikan aku, sampai aku sendiri telah menjadi penderitaan itu. Penderitaan itu telah membuatku tak berdaya untuk meraih kemuliaan, bahkan andaikata aku berdaya, aku tak berani membayangkan kemuliaan itu, karena kemuliaan itu bukan milikku. Tapi aku percaya Rama, karena penderitaankulah maka kemuliaan menjadi milikmu. Sebagai wanita aku hanya ingin menumpang pada kemuliaanmu. Memang demikianlah nasib wanita, ia hanya layak untuk menumpang pada kebahagiaan dan kemuliaan lelakinya, meski untuk menumpang itu saja ia harus menderita dan hidup celaka..

Rama : Sinta, cukup sudah segala kata-katamu. Sekarang buktikanlah kesucianmu. Kalau kau berani membuktikannya terjunlah ke dalam api yang kusediakan bagimu. Dan bila kau memang suci belum terjamah oleh Rahwana sedikit jua, takkan api menelanmu sampai binasa...

Laksmana: Rama, urungkan niatmu. Seharusnya keraguanmu sendiri yang harus dimurnikan oleh kesucian kekasihmu...

Sugriwa: Apa artinya pengorbanan kami selama ini kalau akhirnya kami mesti menyaksikan kesedihan ini. Tak terbayangkan oleh bangsa kera bahwa di dunia ini ada wanita seluhur Dewi Sinta. Mengapa manusia tak pernah puas akan apa yang sebenarnya telah menjadi miliknya?....

Wibisana: Rama, jangan kau menyia-nyiakan milikmu yang berharga seperti Dewi Sinta ini...

Trijata: Tak terbayangkan oleh hamba, paduka masih tega untuk meragukan pengorbanan dan kesucian Dewi Sinta junjungan hamba...

Anoman: Paduka, cincin paduka menyala ketika dikenakan di jari manis kekasih paduka. Tapi ingatlah paduka, permata Dewi Sinta tak menyala terang ketika paduka kenakan di dada paduka. Tidakkah keraguan paduka sendiri yang menuduh paduka, sampai paduka tidak tahan lalu melemparkan tuduhan itu pada kekasih paduka yang tak bercela?....

Sinta : Rama, sediakan api itu bagiku. Aku akan terjun ke dalamnya, karena memang demikianlah kehendakmu. Aku telah berbuat segala-galanya demi dirimu, mengapa aku takut akan api yang hendak menguji kesucianku? Rama, tak hendak aku membuktikan kesucianku, karena sejak pertama kali bertemu denganmu tak pernah aku menodai kesucian itu. Semata-mata aku hanya hendak menunjukkan betapa aku mencintaimu...

Maka disulutlah tumpukan kayu, api berkobar-kobar ke angkasa. Dalam sekejap Sinta tertelan dalam warna merah yang menyala-nyala.

Kera-kera menutup matanya tak tega menyaksikan api yang menyala di tengah kesucian itu. Para wanita berteriak, memohon para dewa melindungi kesucian itu. Para bidadari menitikkan air mata agar air mata itu dapat memadamkan api. Awan-awan sedih menghitam, merendah ingin menjatuhkan hujannya. Samudra melarikan ombaknya ke tepi daratan memaksa diri untuk melimpahkan airnya ke jilatan api yang membakar kesucian. Tapi api tak juga padam, Sinta makin tenggelam dalam bara yang menghanguskan.

Tapi anak-anak kera dan anak-anak raksasa bermain riang bersama. Mereka telah kehilangan ayah-ayah mereka yang mati dalam peperangan. Tapi tiada kesedihan, dendam dan permusuhan pada mereka. Dan mereka tiada peduli dengan api yang menghanguskan Sinta. Kegembiraan mereka seakan mengejek kisah Rama Sinta dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka.........