Selasa, Desember 16, 2014

Mencari Tempat Kos di Jakarta Buat Lia



Anak sulungku, Lia, suatu ketika diterima bekerja di sebuah perusahaan IT yang berkantor di Energy Building di kawasan SCBD. Dulu aku sudah membayangkan hal seperti ini akan terjadi, sepertinya aku sudah mempersiapkannya. Tapi saat hal itu benar-benar terjadi rasanya tetep saja aku seperti orang yang tidak siap. Bukan karena membayangkan anak gadisku bakal jauh dariku, tetapi membayangkan kesiapannya untuk menaklukkan Jakarta.
Lia sebelum ini jarang sekali ke Jakarta, dalam arti ke Jakarta untuk urusannya sendiri dan sendirian. Awal ngantor di Jakarta, tanpa kendaraan pribadi, sudah pasti Lia harus mampu mengakrabi, menyiasati berbagai jenis sarana transportasi umum di Jakarta.
Sebagai orang tua, aku dan suami sudah sepakat, dengan berjalannya waktu  Lia akan  mengenal, membiasakan dan familiar dengan busway dan teman-temannya. Tapi untuk awal, kami akan mencari tempat kos yang paling dekat dengan kantornya sehingga memungkinkan dapat diakses dengan jalan kaki atau dengan transportasi umum yang sesingkat mungkin waktu tempuhnya.
Seminggu sebelum Lia mulai bekerja mulailah kami hunting tempat kos buat Lia. Sasarannya ya lokasi yang dekat dengan Energy Building, daerah sekitar Tulodong, sirip-sirip jalan Wolter Monginsidi dan sekitarnya. Ada beberapa tempat yang menurut kami nyaman, pantas, aman untuk dipakai kos an. Tapi herannya semua Lia enggan milih. Sesudah beberapa tempat ditolaknya aku mulai heran.
‘Kenapa mbak Lia nggak cocok terus? Yang pertama tadi kata ibu nyaman, keamanan juga ok. Yang kedua tadi sedikit kebesaran kamarnya, tapi lumayan juga. Yang ketiga memang kamarnya pengap. Kenapa mbak gak mau semua? Kita kan sepakat untuk kos pertama ini kita akan cari yang dekat kantor. Nanti kalau mbak sudah akrab dengan transportasinya mbak bisa cari yang agak jauh dari kantor,,,’, kataku.
‘iya sih bu, tapi.....’
‘Tapi apa mbak?’
‘Tapi masak sih, 3 bulan pertama ini gajiku kan 4,5 juta, lha masak yang 2 juta dipake ngekos. Gak bisa nabung dong aku....?’
Aku dan Herlan, suamiku. saling pandang, sebelum akhirnya kami tersenyum lebaaar. Anakku, begitu sudah bekerja dikiranya akan dilepas begitu saja oleh orang tuanya. Alangkah naifnya. Tapi aku bangga, dia punya pikiran dan keingainan begitu.
Herlan angkat bicara. ‘Gini mbak, selama menurutmu gajimu belum cukup, gimana kalo kos nya dibayar aja sama ibu? Tapi mbak harus tetep berusaha nabung ya...’
Lia mulai tersenyum. ‘Kalo gitu yaaaa gak papa kita ambil kos an yang pertama yang di Tulodong tadi  aja pak. Tapi kayaknya gak usah dibayar ibu semua deh, aku sanggup bayar separonya pak....’
‘Ok mbak, berarti ibu tetap transfer uang ke rekening mbak yang buat kos sejuta ya...’, kata Herlan lagi.
‘Ok pak...’
Mungkin banyak orang tua juga melakoni dialog dan adegan seperti di atas itu. Untuk ibu biasa sepertiku, semua itu membuatku terharu. Waktuku lebih banyak kugunakan sebagai ibu rumah tangga. Aku mengawal anak-anakku dari mereka kecil, mengawasi hampir semua tahap perkembangannya.  Melepas Lia mulai bekerja merupakan tahap yang membanggakan, sekaligus memberikan rasa was-was. Aku berikhtiar mengawal tapi sisanya kuserahkan pada Allah SWT untuk menjaga anak-anakku dimanapun mereka berada.
Hasbunallaahu wani’mal wakiiil......

Tidak ada komentar: