Anak sulungku,
Lia, suatu ketika diterima bekerja di sebuah perusahaan IT yang berkantor di
Energy Building di kawasan SCBD. Dulu aku sudah membayangkan hal seperti ini
akan terjadi, sepertinya aku sudah mempersiapkannya. Tapi saat hal itu
benar-benar terjadi rasanya tetep saja aku seperti orang yang tidak siap. Bukan
karena membayangkan anak gadisku bakal jauh dariku, tetapi membayangkan
kesiapannya untuk menaklukkan Jakarta.
Lia sebelum ini
jarang sekali ke Jakarta, dalam arti ke Jakarta untuk urusannya sendiri dan
sendirian. Awal ngantor di Jakarta, tanpa kendaraan pribadi, sudah pasti Lia
harus mampu mengakrabi, menyiasati berbagai jenis sarana transportasi umum di
Jakarta.
Sebagai orang tua,
aku dan suami sudah sepakat, dengan berjalannya waktu Lia akan
mengenal, membiasakan dan familiar dengan busway dan teman-temannya.
Tapi untuk awal, kami akan mencari tempat kos yang paling dekat dengan
kantornya sehingga memungkinkan dapat diakses dengan jalan kaki atau dengan
transportasi umum yang sesingkat mungkin waktu tempuhnya.
Seminggu sebelum
Lia mulai bekerja mulailah kami hunting tempat kos buat Lia. Sasarannya ya
lokasi yang dekat dengan Energy Building, daerah sekitar Tulodong, sirip-sirip
jalan Wolter Monginsidi dan sekitarnya. Ada beberapa tempat yang menurut kami
nyaman, pantas, aman untuk dipakai kos an. Tapi herannya semua Lia enggan
milih. Sesudah beberapa tempat ditolaknya aku mulai heran.
‘Kenapa mbak Lia
nggak cocok terus? Yang pertama tadi kata ibu nyaman, keamanan juga ok. Yang
kedua tadi sedikit kebesaran kamarnya, tapi lumayan juga. Yang ketiga memang
kamarnya pengap. Kenapa mbak gak mau semua? Kita kan sepakat untuk kos pertama
ini kita akan cari yang dekat kantor. Nanti kalau mbak sudah akrab dengan
transportasinya mbak bisa cari yang agak jauh dari kantor,,,’, kataku.
‘iya sih bu,
tapi.....’
‘Tapi apa mbak?’
‘Tapi masak sih, 3
bulan pertama ini gajiku kan 4,5 juta, lha masak yang 2 juta dipake ngekos. Gak
bisa nabung dong aku....?’
Aku dan Herlan,
suamiku. saling pandang, sebelum akhirnya kami tersenyum lebaaar. Anakku,
begitu sudah bekerja dikiranya akan dilepas begitu saja oleh orang tuanya.
Alangkah naifnya. Tapi aku bangga, dia punya pikiran dan keingainan begitu.
Herlan angkat
bicara. ‘Gini mbak, selama menurutmu gajimu belum cukup, gimana kalo kos nya
dibayar aja sama ibu? Tapi mbak harus tetep berusaha nabung ya...’
Lia mulai
tersenyum. ‘Kalo gitu yaaaa gak papa kita ambil kos an yang pertama yang di
Tulodong tadi aja pak. Tapi kayaknya gak
usah dibayar ibu semua deh, aku sanggup bayar separonya pak....’
‘Ok mbak, berarti
ibu tetap transfer uang ke rekening mbak yang buat kos sejuta ya...’, kata
Herlan lagi.
‘Ok pak...’
Mungkin banyak orang
tua juga melakoni dialog dan adegan seperti di atas itu. Untuk ibu biasa
sepertiku, semua itu membuatku terharu. Waktuku lebih banyak kugunakan sebagai
ibu rumah tangga. Aku mengawal anak-anakku dari mereka kecil, mengawasi hampir
semua tahap perkembangannya. Melepas Lia
mulai bekerja merupakan tahap yang membanggakan, sekaligus memberikan rasa
was-was. Aku berikhtiar mengawal tapi sisanya kuserahkan pada Allah SWT untuk
menjaga anak-anakku dimanapun mereka berada.
Hasbunallaahu
wani’mal wakiiil......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar