Rabu, Desember 10, 2014

Nasi Goreng Mbah Kanthi



Bulik Kanthi adalah nama istri salah satu paklik (paman) ku, adik misan dari almarhum papiku. Paklik sudah lebih dulu wafat, jadilah bulik sendiri menyantuni ketiga anak mereka yang sudah mulai beranjak dewasa.
Bulik Kanthi dulu bekerja serabutan. Pernah jadi kuli gendong di Pasar Legi Solo, kadang jadi penyeleksi kacang tanah juga di pasar Legi, juga pernah membantu ibuku mengurus rumah tangga di rumahku di Solo.
Saat Herlan, suamiku, dipindahtugaskan dari Madiun ke Surabaya, tahun 1999, aku benar-benar lagi repot. Dik Salman baru umur setahun dan aku tidak punya pembantu rumah tangga. Kebayang gak, kalo rumah tangga lagi normal tanpa pembantu dengan 3 anak umur 1, 5 dan 8 tahun masih terhandle olehku pada waktu itu. Tapi kalo pake pindahan rumah antar kota, wah gak sangguplah aku kalo sendiri. Karena itu terpaksa aku minta izin ibu untuk mengimpor Mbah Kanthi (anak-anakku memanggil bulik Kanthi dengan sebutan Mbah..) untuk ikut kami ke Surabaya selama 2 minggu, paling tidak sampai rumah kami di Surabaya tertata rapi.
Begitulah, Mbah Kanthi membantuku mulai dari ngepak barang-barang sejak di Madiun sampai beberes dan merapikan rumah kami di Surabaya. Bahu-membahu beliau juga membantuku memasak atau momong anak-anak saat aku membereskan rumah.
Singkat kata hampir 20 hari Mbah Kanthi membantuku sampai akhirnya beliau kembali ke Solo, membantu ibuku lagi di rumahku di Solo.
Waktu berjalan kemudian aku dengar kabar dari ibu kalao Mbah Kanthi sudah tidak membantu ibu lagi di rumah. Beliau berjualan ‘hik”. Tau ‘hik’ gak sih? ‘Hik’ itu sebenarnya gerobak mangkal yang dipakai untuk berjualan di malam hari. Dagangannya macem mulai dari nasi kucing, gorengan, pisang bakar, pisang owol, jadah bakar dan lain-lain. Minumannya sudah tentu wedang teh nasgithel, wedang jahe, kopi joss, es jeruk dan lain-lain juga. ‘Hik’ itu jadi tempat kongkow wedangan bagi kebanyakan masyarakat Solo. Memang citranya untuk kongkow masyarakat menengah ke bawah, tapi jangan salah ya dari sejak aku SMA ada ‘Hik’ yang jadi tempat kongkow semua lapisan masyarakat gak bergantung kelasnya. Apalagi yang nostalgia dengan teman-teman lama, orang-orang yang sekarang sudah gendut kantong uangnya, sudah jadi big boss tetep lebih seneng nge ‘Hik’.
Suatu ketika aku pas pulang ke Solo pas ada arisan Keluarga Besar dari Trah papiku di rumahku. Ada Mbah Kanthi di situ. Saat melihatku (setelah sekian lama tidak ketemu sejak pulang membantuku dari Surabaya) dia tersenyum lebar dan memelukku. Aku agak heran juga dengan sikapnya, karena biasanya dia tidak seperti itu.
“Dik Titik, terima kasih banyak ya, karena dik Titik saya jadi punya usaha yang alhamdulillaah laris, terima kasih banyak ya dik....”. Mbah Kanthi memang selalu memanggil anak-anak ibuku dengan sebutan dik. Kenapa? Karena Mbah Kanthi itu relatif masih muda, hanya beberapa tahun usianya lebih tua dari kakakku yang paling besar.
Aku heran banget. “Terima kasih karena apa, Lik? Kok gak ngerti aku....”
“Lupa ya dik? Mbak Lia, mas Akbar kan sangat seneng sarapan nasi goreng, dulu saya diajari dik Titik bikin nasi goreng, tiap pagi mbikinin nasi goreng buat Lia dan Akbar, saya jadi pinter bikin nasi goreng resepnya dik Titik. Kalo saya bikin nasi goreng biasanya gak enak. Sekarang saya jualan hik dik, saya bikin minuman, kalo makanannya banyak yang titipan orang. Yang saya bikin sendiri cuma nasi kucing sama nasi goreng resep dik Titik itu. Alhamdulillah nasi gorengnya paling laris dik, jadi andalan, semalam rata-rata laris 30-60 bungkus. Saya jual harga 3000 dik, alhamdulillah, terima kasih banyak ya dik Titik, kalo gak diajarin sama dik Titik lik e gak bisa punya usaha seperti sekarang ini.....”. Badanku masih dipegangi dan digoncang-goncangkan oleh Mbah Kanthi.
Aku ngowoh (baca: melongo) sambil mikir.
“Resep yang mana to lik rasanya nasi goreng saya biasa saja..”
“Ya resep yang dik Titik ajarkan ke saya, cara bikin sambelnya, nambahin kecap nya seberapa, pokoknya semuanya saya praktekkan dik. Kecuali cabenya tak tambahin soalnya orang-orang dewasa maunya pedes”
Masih ngowoh sambil mikir akhirnya kubilang,
“Alhamdulillaah, saya merasa gak ngajarin yang istimewa tapi kalo menjadi sesuatu yang istimewa buat bulik, alhamdulillaah lik. Ini yang namanya barakah ya lik, dulu lik Kanthi membantu saya, saya sangat berterima kasih, gak nyangka lik Kanthi memperoleh jalan untuk buka usaha yang laris. Alhamdulillaah saya ikut seneng lik, semoga terus maju, terus laris ya lik hik nya..”
“Iya dik, terima kasih, saya tidak akan melupakan jasa dik Titik..”
Demikianlah, nasi gorengku nasi goreng biasa saja. Anak-anakku sampai sekarang masih suka kalo aku bikin nasi goreng. Aku jadi ingat awalnya dulu di Surabaya Lia pernah protes nasi goreng Mbah Kanthi agak aneh, tapi setelah setiap hari yang membuatkan mbah Kanthi tidak ada lagi protes dari anak-anakku. Berarti Mbah Kanthi memang bisa memuaskan anakku atau memang beliau bisa memasak, memiliki cita rasa yang baik. Bakatnya itu mungkin belum disadarinya hingga dia mulai memasak nasi goreng untuk dijual. Jadi kupikir sebenarnya usaha Mbah Kanthi maju karena beliau memang bisa membuat nasi goreng yang enak. Jadi pujiannya tentu saja tidak pantas alias berlebihan untukku. Tapi sudahlah aku tidak akan mengurangi kebahagiaannya, yang penting pujian dan rasa terima kasihnya tidak membuatku besar kepala. Aku bersyukur saja bisa menjadi jalan untuk memajukan usahanya.
Sampai sekarang, setelah belasan tahun berlalu, Mbah Kanthi masih usaha hik dengan menu nasi gorengnya yang konon legendaris di kampungnya.......

Tidak ada komentar: