Bulik
Kanthi adalah nama istri salah satu paklik (paman) ku, adik misan dari almarhum
papiku. Paklik sudah lebih dulu wafat, jadilah bulik sendiri menyantuni ketiga
anak mereka yang sudah mulai beranjak dewasa.
Bulik
Kanthi dulu bekerja serabutan. Pernah jadi kuli gendong di Pasar Legi Solo,
kadang jadi penyeleksi kacang tanah juga di pasar Legi, juga pernah membantu
ibuku mengurus rumah tangga di rumahku di Solo.
Saat
Herlan, suamiku, dipindahtugaskan dari Madiun ke Surabaya, tahun 1999, aku
benar-benar lagi repot. Dik Salman baru umur setahun dan aku tidak punya
pembantu rumah tangga. Kebayang gak, kalo rumah tangga lagi normal tanpa
pembantu dengan 3 anak umur 1, 5 dan 8 tahun masih terhandle olehku pada waktu
itu. Tapi kalo pake pindahan rumah antar kota, wah gak sangguplah aku kalo
sendiri. Karena itu terpaksa aku minta izin ibu untuk mengimpor Mbah Kanthi
(anak-anakku memanggil bulik Kanthi dengan sebutan Mbah..) untuk ikut kami ke
Surabaya selama 2 minggu, paling tidak sampai rumah kami di Surabaya tertata
rapi.
Begitulah,
Mbah Kanthi membantuku mulai dari ngepak barang-barang sejak di Madiun sampai
beberes dan merapikan rumah kami di Surabaya. Bahu-membahu beliau juga
membantuku memasak atau momong anak-anak saat aku membereskan rumah.
Singkat
kata hampir 20 hari Mbah Kanthi membantuku sampai akhirnya beliau kembali ke
Solo, membantu ibuku lagi di rumahku di Solo.
Waktu
berjalan kemudian aku dengar kabar dari ibu kalao Mbah Kanthi sudah tidak
membantu ibu lagi di rumah. Beliau berjualan ‘hik”. Tau ‘hik’ gak sih? ‘Hik’
itu sebenarnya gerobak mangkal yang dipakai untuk berjualan di malam hari.
Dagangannya macem mulai dari nasi kucing, gorengan, pisang bakar, pisang owol,
jadah bakar dan lain-lain. Minumannya sudah tentu wedang teh nasgithel, wedang
jahe, kopi joss, es jeruk dan lain-lain juga. ‘Hik’ itu jadi tempat kongkow
wedangan bagi kebanyakan masyarakat Solo. Memang citranya untuk kongkow
masyarakat menengah ke bawah, tapi jangan salah ya dari sejak aku SMA ada ‘Hik’
yang jadi tempat kongkow semua lapisan masyarakat gak bergantung kelasnya.
Apalagi yang nostalgia dengan teman-teman lama, orang-orang yang sekarang sudah
gendut kantong uangnya, sudah jadi big boss tetep lebih seneng nge ‘Hik’.
Suatu
ketika aku pas pulang ke Solo pas ada arisan Keluarga Besar dari Trah papiku di
rumahku. Ada Mbah Kanthi di situ. Saat melihatku (setelah sekian lama tidak
ketemu sejak pulang membantuku dari Surabaya) dia tersenyum lebar dan
memelukku. Aku agak heran juga dengan sikapnya, karena biasanya dia tidak
seperti itu.
“Dik
Titik, terima kasih banyak ya, karena dik Titik saya jadi punya usaha yang
alhamdulillaah laris, terima kasih banyak ya dik....”. Mbah Kanthi memang
selalu memanggil anak-anak ibuku dengan sebutan dik. Kenapa? Karena Mbah Kanthi
itu relatif masih muda, hanya beberapa tahun usianya lebih tua dari kakakku
yang paling besar.
Aku
heran banget. “Terima kasih karena apa, Lik? Kok gak ngerti aku....”
“Lupa
ya dik? Mbak Lia, mas Akbar kan sangat seneng sarapan nasi goreng, dulu saya
diajari dik Titik bikin nasi goreng, tiap pagi mbikinin nasi goreng buat Lia
dan Akbar, saya jadi pinter bikin nasi goreng resepnya dik Titik. Kalo saya
bikin nasi goreng biasanya gak enak. Sekarang saya jualan hik dik, saya bikin
minuman, kalo makanannya banyak yang titipan orang. Yang saya bikin sendiri cuma
nasi kucing sama nasi goreng resep dik Titik itu. Alhamdulillah nasi gorengnya
paling laris dik, jadi andalan, semalam rata-rata laris 30-60 bungkus. Saya
jual harga 3000 dik, alhamdulillah, terima kasih banyak ya dik Titik, kalo gak
diajarin sama dik Titik lik e gak bisa punya usaha seperti sekarang ini.....”.
Badanku masih dipegangi dan digoncang-goncangkan oleh Mbah Kanthi.
Aku
ngowoh (baca: melongo) sambil mikir.
“Resep
yang mana to lik rasanya nasi goreng saya biasa saja..”
“Ya
resep yang dik Titik ajarkan ke saya, cara bikin sambelnya, nambahin kecap nya
seberapa, pokoknya semuanya saya praktekkan dik. Kecuali cabenya tak tambahin
soalnya orang-orang dewasa maunya pedes”
Masih
ngowoh sambil mikir akhirnya kubilang,
“Alhamdulillaah,
saya merasa gak ngajarin yang istimewa tapi kalo menjadi sesuatu yang istimewa
buat bulik, alhamdulillaah lik. Ini yang namanya barakah ya lik, dulu lik
Kanthi membantu saya, saya sangat berterima kasih, gak nyangka lik Kanthi
memperoleh jalan untuk buka usaha yang laris. Alhamdulillaah saya ikut seneng
lik, semoga terus maju, terus laris ya lik hik nya..”
“Iya
dik, terima kasih, saya tidak akan melupakan jasa dik Titik..”
Demikianlah,
nasi gorengku nasi goreng biasa saja. Anak-anakku sampai sekarang masih suka
kalo aku bikin nasi goreng. Aku jadi ingat awalnya dulu di Surabaya Lia pernah
protes nasi goreng Mbah Kanthi agak aneh, tapi setelah setiap hari yang
membuatkan mbah Kanthi tidak ada lagi protes dari anak-anakku. Berarti Mbah
Kanthi memang bisa memuaskan anakku atau memang beliau bisa memasak, memiliki
cita rasa yang baik. Bakatnya itu mungkin belum disadarinya hingga dia mulai
memasak nasi goreng untuk dijual. Jadi kupikir sebenarnya usaha Mbah Kanthi
maju karena beliau memang bisa membuat nasi goreng yang enak. Jadi pujiannya
tentu saja tidak pantas alias berlebihan untukku. Tapi sudahlah aku tidak akan
mengurangi kebahagiaannya, yang penting pujian dan rasa terima kasihnya tidak
membuatku besar kepala. Aku bersyukur saja bisa menjadi jalan untuk memajukan
usahanya.
Sampai
sekarang, setelah belasan tahun berlalu, Mbah Kanthi masih usaha hik dengan
menu nasi gorengnya yang konon legendaris di kampungnya.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar