Selasa, Maret 25, 2014

Cabuk Rambak



Sudah lama aku nggak nulis tentang kuliner. Hari ini Selasa, saatnya aku nulis tentang family, aku memilih untuk menulis tentang Cabuk Rambak. Barangkali anda ada yang kenal dengan cabuk rambak? Cabuk rambak itu nama sejenis makanan khas Solo, bentuknya irisan ketupat yang disiram bumbu, pelengkapnya adalah  kerupuk karak. Bumbunya itu terbuat dari parutan kelapa yang dicampur dengan biji wijen yang digoreng sangrai, dan diuleg dengan bawang putih, garam, gula pasir, gula merah, cabe, kemiri goreng dan daun jeruk purut. Ulegan ini akan berupa pasta, yang bila diencerkan dengan air putih matang, konsistensinya akan seperti bumbu pecel yang kita kenal. 
 

Cabuk rambak ini sudah menemaniku sejak masa kecilku. Di SD makanan jajan favoritku adalah cabuk rambak. Penjualnya seorang simbah yang sudah sepuh, tiap jam sekolah pasti sudah duduk nemplek di dinding luar sekolahku. Dia duduk di atas ‘dingklik’ kecil. Di hadapannya terdapat tenggok  dan tampah yang diletakkan di atas tenggoknya. Tenggok itu berisi daun pisang, dan “pincuk” dari daun pisang. Terus di atas tampahnya biasanya ada ketupat utuh dan irisan ketupat, bumbu yang masih padat dan yang sudah diencerkan dengan air. Di sebelahnya ada krupuk karak yang diwadahi dengan plastik.


Kalau ada yang beli si mbah akan mengambil pincuk , menata irisan ketupat di pincuk itu, menyiram ketupatnya dengan bumbu, mencucukkan sebatang lidi (seperti tusuk gigi) di atas salah satu ketupat sebagai alat untuk menyantap, dan meletakkan kerupuk karak di atasnya, baru menyerahkannya pada pembeli. Tampilan akhir sebelum kita konsumsi adalah seperti gambar di bawah ini.

Waktu aku masih SD harga sepincuk cabuk rambak hanya Rp 5,- (baca: lima rupiah).  Sekarang sepertinya harganya 5-6 ribu rupiah sepincuk.
Aku sudah meninggalkan Solo sejak tahun 1983, dan sejak itu hanya sekali-sekali aku pulang ke Solo. Tiap kali pulang pasti kusempatkan mampir ke Manahan untuk jajan cabuk rambak. Anakku Lia juga sangat menyukainya. Cabuk rambak memang sering ‘ngangeni’ (baca: bikin kangen), abis makanan itu yang aku tau hanya ditemukan di Solo. Jadi memang kuliner  warisan leluhur dan legendaris, patut dilestarikan. Kadang aku berpikir, kalau kupopulerkan di Bandung, bisa laku jual gak ya......?

Tidak ada komentar: