Sudah
lama aku nggak nulis tentang kuliner. Hari ini Selasa, saatnya aku nulis
tentang family, aku memilih untuk menulis tentang Cabuk Rambak. Barangkali anda
ada yang kenal dengan cabuk rambak? Cabuk rambak itu nama sejenis makanan khas Solo,
bentuknya irisan ketupat yang disiram bumbu, pelengkapnya adalah kerupuk karak.
Bumbunya itu terbuat dari parutan kelapa yang dicampur dengan biji wijen
yang digoreng sangrai, dan diuleg dengan bawang putih, garam, gula pasir, gula
merah, cabe, kemiri goreng dan daun jeruk purut. Ulegan ini akan berupa pasta,
yang bila diencerkan dengan air putih matang, konsistensinya akan seperti bumbu
pecel yang kita kenal.
Cabuk
rambak ini sudah menemaniku sejak masa kecilku. Di SD makanan jajan favoritku
adalah cabuk rambak. Penjualnya seorang simbah yang sudah sepuh, tiap jam
sekolah pasti sudah duduk nemplek di dinding luar sekolahku. Dia duduk di atas
‘dingklik’ kecil. Di hadapannya terdapat tenggok dan tampah yang diletakkan di atas
tenggoknya. Tenggok itu berisi daun pisang, dan “pincuk” dari daun pisang.
Terus di atas tampahnya biasanya ada ketupat utuh dan irisan ketupat, bumbu
yang masih padat dan yang sudah diencerkan dengan air. Di sebelahnya ada krupuk
karak yang diwadahi dengan plastik.
Kalau
ada yang beli si mbah akan mengambil pincuk , menata irisan ketupat di pincuk
itu, menyiram ketupatnya dengan bumbu, mencucukkan sebatang lidi (seperti tusuk
gigi) di atas salah satu ketupat sebagai alat untuk menyantap, dan meletakkan
kerupuk karak di atasnya, baru menyerahkannya pada pembeli. Tampilan akhir
sebelum kita konsumsi adalah seperti gambar di bawah ini.
Waktu
aku masih SD harga sepincuk cabuk rambak hanya Rp 5,- (baca: lima rupiah). Sekarang sepertinya harganya 5-6 ribu rupiah
sepincuk.
Aku
sudah meninggalkan Solo sejak tahun 1983, dan sejak itu hanya sekali-sekali aku
pulang ke Solo. Tiap kali pulang pasti kusempatkan mampir ke Manahan untuk
jajan cabuk rambak. Anakku Lia juga sangat menyukainya. Cabuk rambak memang
sering ‘ngangeni’ (baca: bikin kangen), abis makanan itu yang aku tau hanya
ditemukan di Solo. Jadi memang kuliner
warisan leluhur dan legendaris, patut dilestarikan. Kadang aku berpikir,
kalau kupopulerkan di Bandung, bisa laku jual gak ya......?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar