Cerita
ini terjadi di tahun 2005. Saat itu anak sulungku, Lia baru diterima di kelas 1
SMA N 3 dan baru sekitar 1 bulan sekolah di situ. Aku sudah agak lupa bagaimana
koran Pikiran Rakyat itu ada di tanganku, sepertinya sih kubeli di jalan karena
di rumah kami melanggan Harian Republika bukan Pikiran Rakyat..
Hari
itu koran PR itu kok ya kubaca lembar demi lembar semuanya sampai berita duka
citanya...Dari situlah kubaca pengumunan dari MOE (Minister of Education) nya
Republik Singapura yang menawarkan beasiswa untuk bersekolah dua tahun di kelas
terakhir setingkat SMP (Secondary) untuk dapat mengikuti ujian GCE ‘O’ Level
dan dilanjutkan dua tahun setingkat SMA (Pre University) untuk dapat mengikuti
ujian GCE ‘A’ Level di Singapura. Jadi ceritanya yang diterima di program
beasiswa ini di Singapura akan masuk ke Secondary 3 (kelas 3 SMP, berarti bagi
Lia mengulang karena saat itu dia sudah kelas 1 SMA), lalu dilanjut tahun
depannya di Secondary 4 (kelas 4 SMP). Di sini dia akan mengikuti ujian GCE ‘O’
level (GCE = General Certificate of Education). Bila nilainya bagus, penerima
beasiswa akan lanjut sekolah di Pre University (setara SMA). Pada akhir tahun
kedua di Pre University penerima beasiswa akan diikutkan ujian GCE ‘A ‘ Level
(GCE Advance).
Bunyi
pengumuman itu penerima beasiswa akan menerima ‘free tuition’, free dormitory,
ada stipend (uang saku) tahunan, fasilitas kesehatan dll. Formulir pendaftaran program ini juga
mudah diperoleh dan seterusnya.
Waktu
iku iseng-iseng kuminta Lia membaca pengumuman itu. Awalnya dia cuek tidak
tertarik. Ketika kubilang, ada kalanya kita perlu mencoba yang beginian mbak,
untuk tahu kira-kira dimana tempatmu untuk seleksi yang beginian... Lia
menjawab yuk coba saja bu...
Singkat
cerita kami berdua, aku dan Lia mengisi
form pendaftaran beasiswa itu untuk Lia. Persyaratan administrasinya kita
kirimkan. Dan kita woro-woro ke teman-teman Lia dan keponakan-keponakan yang
mau mencoba. Dua minggu setelah mengirim aplikasi datanglah panggilan untuk
test di Jakarta. Bersama Lia, keponakanku, Rani, dipanggil test juga. Jadilah
hari (20 Agustus 2005) itu aku, suami dan kakakku mengantar Lia dan Rani test
seleksi beasiswa itu di Hotel JW Marriot Jakarta. Test nya berupa test tertulis
dengan materi test matematika (in English) dan bahasa Ingrris, dari jam 10.30
sampai jam 16.00. Peserta test tumplek blek di Hotel Marriot hari itu. Kata
kakakku yang sempet ngobrol dengan panitianya, katanya peserta hari ini lebih
dari 1000 orang. Test selesai, Lia, aku dan suamiku tidak ada beban sama
sekali, sesuai tujuan kami di awal kita pengin coba kalo seleksi begini anak
kita bisa dapat tempat gak.
Tiga
minggu sesudah test itu ada surat pemberitahuan kalau Lia harus mengikuti test
wawancara di Hotel Le Meredien Jakarta pada tanggal 25 September 2005. Undangan
wawancara ini mempengaruhi aku dan Herlan, suamiku. Herlan yang tadinya tidak
punya wacana jadi rajin browsing tentang pendidikan di Singapura. Dia jadi
begitu bersemangat begitu mengetahui. bahwa sistem pendidikan di sana bagus dan
lulusan GCE ‘A’ Levelnya dapat langsung diterima di universitas di luar negeri
tanpa test (cukup melihat score di GCE ‘A’ levelnya saja). Dia berharap Lia
diterima di program beasiswa ini. Sedangkan aku, lain lagi yang kupikirkan. Aku
mengangankan kelak anak-anakku pada bisa beasiswa dan kuliah di luar negeri.
Yang kuangankan adalah kuliah S2 atau S1, bukan SMA sudah di luar negeri.
Kulihat Lia, dia cukup mandiri tetapi kalau sekarang rasanya terlalu dini untuk
jauh dari rumah. Jadi panggilan wawancara yang membuat Herlan sangat antusias
ini malah membuatku was-was dan khawatir. Yang bersangkutan, Lia, sepertinya
cuek saja. Karena masih harus wawancara, kusimpan semua kekhawatiranku.
Pada
hari wawancara kami hanya bertemu dengan salah satu kandidat yang juga diantar
oleh orang tuanya. Keluarga Cina itu datang dari Surabaya. Dari mereka kami
jadi tahu bahwa yang dipanggil wawancara hanya 45 orang. Wawancaranya ada waktu
atau jam yang spesifik. Itulah sebabnya mereka baru datang mendekati jam
wawancaranya, dan membuat kita tidak saling bertemu. Dari mereka juga kita
mengetahui bahwa dari wawancara ini akan diambil 20 orang penerima beasiswa. Lia
sudah diwawancara, dan pulanglah kami ke Bandung lagi. Aku dengan rasa khawatir
yang kusimpan rapat.
Hari
berlalu, sudah saatnya kutanya Lia tentang kesiapannya berangkat bila dia
diterima. Jawabannya agak mengejutkanku. Gak tau bu, aku kan belum pernah ke
sana. Kusampaikan jawaban Lia itu ke suamiku. Herlan masih berbesar hati, kalau
dia diterima nanti pasti Lia akan lebih siap, kata Herlan. Tiap kali kuingatkan
tentang siap gak sekolah di Singapura, Lia sepertinya malah menghindar dan gak
mau ngomongin hal itu lagi.
Kubayangkan
kalau Lia saat ini harus sudah jauh dari rumah. Kalo untuk sekolah, aku rela
dan siap. Tapi untuk jauh dari rumah aku ragu-ragu, kenapa? Karena aku belum
mempersiapkannya untuk jauh dari rumah. Aku barangkali telat mengajarinya...
Awal
bulan Oktober 2005 datanglah surat itu...Lia adalah salah satu dari 18 orang
yang lolos seleksi penerima beasiswa dari MOE nya Republik Singapura. Kabar itu
adalah kabar gembira bagi Herlan yang pengin anak-anak kami nanti sekolahnya
harus lebih dari kami berdua. Sedangkan aku bingung antara senang dan galau.
Lia sendiri, datar saja malah cenderung tidak peduli.
Penerima
beasiswa harus memberikan konfirmasi mau mengikuti program beasiswa ini ataukan
tidak. Bila ya langkah selanjutnya adalah mengikuti pemeriksaan kesehatan dan pada
akhir Oktober 2005 berangkat ke Singapura mulai persiapan bahasa dan memilih
sekolah yang akan diikuti.
Herlan
mulai menampakkan rasa khawatir ketika Lia keliahatan tidak antusias. Jawabnya
awalnya pendek-pendek, sekolahnya di mana, temannya siapa saja, tinggalnya
dimana, liburnya kapan, dst... Bapaknya cukup sabar menjelaskan segalanya sampai
keuntungan bisa sekolah di sana dst. Selanjutnya Lia mulai menjawab aku sudah
seneng sekolah di sini, dulu kan katanya kita cuma coba-coba saja dst...
Herlan
memintaku untuk membujuk dan menasehati agar Lia mantab berangkat. Tapi aku
sangat tau Lia, ada bagian yang membuat dia tidak nyaman dengan berangkat. Aku
akan mendorong anakku untuk mengejar yang diinginkannya, asalkan diapun sepenuh
hati melakukannya. Kalau cuma setengah hati, ragu-ragu, aku tidak sanggup.
Ibaratnya aku dan suami hanyalah supporter, fasilitator, yang barangkali bisa
menjadi bagian kesuksesannya. Tapi semangat Lia sendiri akan menjadi bagian besar
penentu keberhasilan studinya.
Lia
masih belum memberikan jawabannya, mau berangkat atau tidak. Saat itu Herlan
ngantor di Jakarta. Hanya Sabtu Minggu dia pulang ke Bandung. Sampai kami makan
malam di hari Minggu itu Lia belum kasi keputusan. Malam itu sambil berbaring
Herlan bilang, begitu banyak orang menginginkannya tapi tidak diterima, anak
kita diterima tapi seperti gak menginginkannya. Kita sudah sampai di sini, kita
berdua tidak pernah sekolah di luar negeri. Semoga anak-anak kita kelak pada
bisa sekolah dimanapun mereka menginginkannya. Aku speechless, kejepit di
tengah-tengah. Kalau Lia gak jadi berangkat aku tau Herlan kecewa. Tapi kalau kubujuk
Lia berangkat, aku khawatir ‘pemaksaan’ ini berakibat yang tidak baik bagi
keberhasilan studinya. Kami tidur dengan pikiran kami masing-masing malam itu.
Senin
subuh itu Herlan sudah bersiap-siap berangkat ke Jakarta (waktu itu Tol
Cipularang belum ada jadi ke Jakarta harus lewat Puncak, sebelum subuh kudu
sudah berangkat supaya jam 8 pagi sudah ada di kantor Jakarta). Ketika kutanya,
Lia perlu kubangunkan? Herlan menjawab, gak usah, nanti pas sarapan tolong ibu
tanyakan dia mau berangkat apa tidak. Kalau gak berangkat tanyain apa
alasannya. Tadi malam bapak shalat malam, bapak sudah bisa menerima mbak Lia
berangkat atau tidak. Bapak tidak mau dia berangkat dengan setengah hati. Pasti
ada hikmahnya bagi kita semua... Rasanya plong banget suamiku memiliki pemikiran begitu. Pemikiran itu
datang sendiri bukan karena kuingatkan.
Aku senang dan bangga padanya. Kujanjikan apapun keputusan Lia pagi ini
akan segera kuberitahukan padanya, karena dia yang harus ngefax surat
konfirmasi ke MOE Singapura, menerima atau menolak beasiswa tersebut.
Pagi
itu sebelum sarapan, di meja makan Lia berkata padaku, Bu, sudah kupikirkan
baik-baik semalam, aku memutuskan gak pergi bu. Aku mau SMA di sini saja sampai
lulus baru cari perguruan tinggi, gimana nanti. Tolong ya bu sampaikan ke Bapak
nanti. Bapak gak marah to bu? Aku tersenyum, dan menjawab. Gak mbak, bapak gak
marah. Boleh ibu tau, alasannya apa mbak memutuskan gak pergi? Lia mantab
menjawab, sekarang aku belum bisa jauh dari ibu.... Aku sungguh merasa menjadi
bagian penyebab ketidaksiapan anakku jauh dari rumah itu...
Pagi
itu setelah anak-anak berangkat sekolah kutelpon Herlan dan kuberitahukan jawaban
Lia. Aku masih mendengar nada kecewa di suaranya tapi kemudian dia semangat
lagi. Ok bu sampai kantor akan bapak fax MOE Singapura kalau anak kita menolak
beasiswanya.....
Seminggu
sesudahnya pas berbaring berdua kukatakan, lesson of learn nya barangkali
keinginan itu harus datang dulu dari anak-anak baru kita kasi fasilitasnya.
Jangan kita fasilitasi sebelum mereka minta atau datang minat. Gampangnya
jangan kita yang yang narik mereka dari depan, tapi seperti falsafah kita harus
tutwuri, mendorong dari belakang. Kalau biasa ditarik dari depan kalau kita
yang narik sudah capai mereka akan berhenti karena tidak tahu arah. Tapi kalau
kita tutwuri dari awal merekalah yang cari arah sendiri. Kalau kita capai
mendorongnya mereka tidak akan ikut berhenti kareana dari awal merekalah yang
cari arah sendiri. Herlan mengiyakan. Tapi sedetik kemudian dia sudah ngomong,
kemarin bapak ngeliat clavinova yang baru. Bapak mau beli biar Lia bisa mainin
di rumah. Aku speechless, lha Lia kan gak minta dibeliin piano, jangan dulu
beli piano. Barusan ibu bilang apa...Herlan enteng menjawab, gak papa dulu
sudah bilang pengin kok, kalo kita beliin dia akan main..... Aku gak berkata
apa-apa lagi. Seminggu kemudia Clavinova itu sudah distem di ruang tengah kami
dan sepulang sekolah Lia sudah memainkan lagu kesukaannya di situ.
Dan
kami mulai melupakan episode beasiswa itu sampai ketika kakak adik kami
mengingatkan, kalian sih yang kurang memberi wawasan pada anak-anakmu tentang
luar negeri. Singapura tu kan dekat banget dengan kita, mudah dikunjungi,
bahasa juga banyak sama, jauh lebih maju. Kalau gak kalian kenalin gimana
anak-anakmu mau sekolah di situ, tau aja enggak...
Nasihat
mereka kayak setrum deh. Bener juga ya...kurang wawasan membuat anakku takut
berangkat, takut jauh dari rumah. Jadilah awal tahun 2006 kami sekeluarga ke
Singapura, mengenal negeri tetangga yang kemarin menawarkan beasiswa itu.
Alhamdulillaah ada kemajuan...Akbar bilang aku mau sekolah di sini
bu...kayaknya enak....