Selasa, Februari 09, 2010

Betapa Cepat Waktu Berlalu…..(2)

Hidup memang seperti roda pedati, kadang berada di atas, kadang di bawah. Kadang kita merasa sangat bahagia, tapi kadang kesedihan datang. Ujian dari Allah bisa datang dalam wujud apapun. Meskipun selama ini aku selalu merasa menjadi ;super mom’ bagi anak-anakku, kadang aku tidak berhasil menyembunyikan kesedihanku di hadapan mereka. Suatu saat ketika rasa kecewa, marah, sedih, tidak terima begitu menyesakkan dada karena tidak ada tempat berbagi, menangis merupakan saluran untuk mengurangi kesesakan itu. Dan Akbar pernah memergokiku menangis di ruang tamu. Aku agak kaget ketika dia sudah berada di dekatku, melihatku menangis (kupikir dia berada di kamarnya saat itu).
‘Ada apa, Bu, mengapa ibu menangis’, tanyanya saat itu. Aku tidak menjawab, aku ingin berpura-pura tidak ada masalah. Tetapi saat itu ternyata aku daya tahanku habis. I’m not super mom anymore. Aku tak dapat menghentikan tangisku. Di luar dugaanku, Akbar lebih mendekat dan kemudian memelukku erat. ‘Apa yang dapat kulakukan untuk membantu ibu? Akan kulakukan bu. Tolong katakan ada apa, apa yang membuat ibu menangis?...’,

Tidak banyak yang aku katakan tentang sebab kesedihanku, untuk beberapa saat aku masih memble. Dan selama itu Akbar masih memelukku dan berusaha menghiburku. Sikap care dan gentle nya itu benar-benar membesarkan hatiku dan terus terang menyadarkanku, penyebab kesedihanku tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang diamanahkan Allah di hadapanku itu. Saat air mataku habis dan Akbar sudah melepaskan pelukannya, kukatakan padanya, ‘Hidup itu memang seperti roda, Mas, kadang di atas tapi kadang juga di bawah, kita terlindas. Tapi bagi ibu baik di atas ataupun di bawah, Mas Akbar, mbak Lia dan Dik Salman adalah sumber semangat ibu untuk bangkit dan tidak kufur. Terima kasih, sayang, karena telah memperhatikan dan membesarkan hati ibu….’

Alangkah cepat waktu berlalu. Akbar, anak keduaku sudah dewasa dan sudah bisa bersikap dewasa. Rasanya baru kemarin aku melahirkannya pada tanggal 14 April 1994, jam 14.14. Sebagai bayi made in Munchen, Germany, dia seperti bayi bule, putih, panjang dan mancung hidungnya. Rasanya baru kemarin dia selalu mengekor mbaknya sepulang mbaknya dari sekolah. Rasanya baru kemarin dia masih sekolah TK di Madiun, setiap dua minggu sekali ‘siaran’ di RRI Madiun dan menyanyi berbagai macam lagu anak-anak yang diajarkan gurunya tanpa rasa malu. Aku masih ingat dengan iringan gitar ibu gurunya, tubuh gendutnya berdiri sedikit mendongak di bawah mikrofon dan menyanyi lagunya pak AT Mahmud, …lihat kembangku sekuntum mawar mekar kelopaknya bagai mahkota….kumbang dan kupu-kupu, ramai datang ke sana….dst.
Hingga kelas 5 SD, tubuhnya masih gendut dan bulat. Kelas 3 SD di Surabaya, merupakan masa ‘nightmare’ bagiku dalam urusan nyuci kaos kakinya yang super dekil, karena kaos kaki itu setiap hari dipakainya untuk sepak bola di lorong sekolah (tanpa sepatu). Dari situ aku punya kebiasaan membelikan kaos kaki yang sepuluh ribu dapat 3 pasang, untuknya. Jadi kalau sebulan kaos kaki itu sudah tidak pantas pakai karena tidak bisa lagi kembali bersih setelah dicuci, aku tidak merasa rugi untuk segera mengapkirkannya.

Rasanya baru kemarin tubuhnya yang gendut suka memelukku dari depan dan berkata, ‘aku kuat mengangkat ibu..’, dan benar dia kuat mengangkat tubuhku yang lebih dari 50 kg. Rasanya baru kemarin aku membujuknya supaya mau les gitar, tadinya untuk mempersiapkan seleksi siswa teladan SD di kota Bandung (akhirnya di berhasil jadi Siswa Teladan 2 sekota Bandung), tapi ujungnya dia jadi serius dan pinter memetik gitar. Rasanya baru kemarin dia mendadak minta dikhitan karena di kelasnya tinggal 3 anak laki-laki (termasuk dia) yang belum dikhitan.

Waktu rasanya cepat sekali berlalu. Anak keduaku ternyata sudah di ambang dewasa. Fisiknya tidak lagi gendut dan bulat, tetapi jangkung dan langsing. Sejak dikhitan sudah tidak pernah lagi ikut tidur seranjang denganku. Sejak dia kelas satu SMA ini akupun terbebas jadi imam shalat di rumah bila Herlan pas di Semarang, karena tugas menjadi imam shalat sudah beralih kepadanya. Bulu kakinya mulai tumbuh, juga kumisnya, suaranya pun sudah jadi berat. Aku sudah jarang menyentuh dan mengelusnya, kecuali saat dia sakit, aku tetap masih suka menyentuh dan kadang memijitnya. Berkurangnya kontak fisik yang memang dianjurkan oleh agama tidak mengurangi kontak batin kami. Aku tahu dia hormat dan manyayangi ibunya. Aku bangga dengan sikapnya yang perhatian dan gentle. Dari dasar hatiku aku selalu memohon pada Allah SWT agar dia dikaruniai kebijakan untuk memimpin, baik memimpin keluarganya nanti, memimpin di lingkungan tempat kerja dan masyarakatnya. Aku mendoakannya agar dia mampu memimpin istri dan anaknya ke jalan yang benar agar tunai tugasnya di dunia dan dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di dunia ini kelak di hadapan Allah.

Aku sering mengingatkan nasihat ini padanya….laki-laki manapun sangat mementingkan respek dari istrinya. Ingat baik-baik ya Mas, respek itu tidak perlu dibeli dengan harga mahal, itu bahkan akan dengan sukarela kamu terima dari istrimu bila kamu memuliakan dia. Bila kamu tidak memuliakan istrimu, jangan berharap respek itu dapat kamu peroleh dengan sukarela, kamu bahkan harus membelinya dengan mahal, sangat mahal….. Dan Akbar selalu menjawab, ‘Aku akan mengingat nasihat ibu…..’

Dengan izinMu akan kujaga amanah dariMu ini Ya Rabb, dengan izinMu aku ingin membekalinya dengan bekal terbaik agar anakku itu dapat menjadi muslim yang istiqamah pada ajaran agamaMu, menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga dan linkungannya. Dengan izinMu aku ingin dia menjadi laki-laki yang menghormati dan memuliakan wanita……………..

Tidak ada komentar: