Selasa, November 17, 2009

Betapa Cepat Waktu Berlalu…..(1)

Beberapa hari yang lalu aku tidur lebih awal karena merasa tidak enak badan. Dan terbangun sedikit lewat tengah malam. Suasana rumah begitu sepi. Aku keluar kamar, di ruang tengah aku mendengar bunyi napas teratur, anak sulungku, Lia, tertidur di sofa di dekat komputer dengan buku-buku kuliah yang barusan digunakan untuk mengerjakan tugas kuliahnya berserakan di lantai. Beberapa ekor nyamuk gendut menclok di pahanya yang terbuka. Kupandangi dia. Gen bapaknya mengalir dominan sekali pada dirinya. Kemiripan wajah membuat semua orang tidak heran kalau dia anak Herlan. Kebiasan-kebiasaannya juga banyak miripnya, seperti kebiasaan tidur di sembarang tempat di rumah, di sofa, di kamar adeknya atau bahkan di sajadah tempat dia shalat. Anak perempuanku satu-satunya. Tinggi dan besar badannya sudah melebihi aku. Ukuran baju dan celananya pun sudah lebih besar dariku. Fisiknya juga menurun dari gen bapaknya.....

Kuambil selimut di kamar Salman dan kuselimuti dia. Dalam hati aku mengucap ’alhamdulillah’ berulang-ulang. Allah telah mengamanahkan dia padaku. Betapa cepat waktu berlalu....Masa kecilnya terasa begitu singkat. Dia cerdas, itu sudah kelihatan dari kecil. Ingatannya kuat, dia bisa menghapal banyak lagu anak-anak, umur 3 tahun, di Bandung, sudah mau ikut belajar di Taman Pendidikan Al Qur’an. Kupikir dia akan mudah bosan, ternyata di luar dugaanku, dia mulai bisa menghapal surat-surat pendek. Umur 4 tahun dia mulai bisa membaca. Aku mulai mengajarkan huruf kapital kepadanya, dalam waktu singkat dia bisa membaca bahkan huruf kecil juga. Semua buku dibacanya, bahkan buku-buku pelatihan di Telkom milik bapaknya...(di situ aku baru menyadari anakku yang baru 4 tahun sudah bisa membaca kata restrukturisasi dengan benar...). Kesukaannya membaca ini pernah membuat malam-malamku dengan Herlan menjadi nightmare, karena tiap malam kami berdua dipaksanya mendengarkan apa yang dibacanya sampai dia tertidur karena kecapaian.

Kelas 6 SD di Surabaya, di luar dugaanku dia lolos beberapa kali seleksi dan menjadi pelajar teladan ke dua tingkat Kodya Surabaya. Mendaftar SMP Negeri 5 Bandung dan diterima, malah lolos seleksi program akselerasi, hingga lulus SMP selama 2 tahun saja. Iseng-iseng mendaftar beasiswa SMA di Singapura, dipanggil tes seleksi di Hotel JW Marriot dan Le Meridien Jakarta, dan akhirnya dinyatakan lolos seleksi (18 orang diterima dari 1000 an orang yang ikut seleksi awal) tinggal tes kesehatan dan berangkat, tapi akhirnya dia ogah berangkat (dan ini sempat membuat bapaknya sangat kecewa...), dengan alasan belum siap jauh dari rumah dan ibu.... Di SMA maunya main dulu, nggak mau serius-serius belajar. Akibatnya di SMA ini begitu banyak konconya. Hingga saat akhir SMA masih bingung mau milih jurusan apa saat kuliah nantinya. Ikut USM I ITB dan ternyata nyangkut di STEI ITB. Dan ujung-ujungnya memilih jurusan telekomunikasi kayak bapaknya....

Lia menggaruk-garuk pahanya yang digigit nyamuk. Aku menghela napas menyadari alangkah cepat waktu berlalu... Rasanya baru kemarin aku menggendong bayinya di Palembang, mengajaknya mengunjungi bapaknya di Munchen dan mengajaknya berlari-lari di taman di Goethe Platz, menyanyi lagu ’Siluman Ular Putih’ bersamanya, memenuhi panggilan guru TK nya ke sekolah karena dia mengamuk karena digangguin temannya, menjahit sendiri baju-bajunya karena baju ukuran anak di Matahari Dept Store pun tak ada yang muat bagi badan bongsornya.... Sekarang dia sudah dewasa, sudah mahasiswa, sudah kuberi kewenangan untuk mengatur kebutuhan dan keuangannya sendiri, sudah sering pulang malam karena mengikuti kegiatan di kampusnya...

Aku mengucap ’alhamdulillah’ lagi dan lagi. Anak ini bukan anak yang sulit dan merepotkan, dari kecil dia menyenangkan dan tidak nakal, sekarangpun dia bisa membantuku ’mengurus’ dua adik laki-lakinya. Bakat bermain musiknya telah begitu sering menghiburku, suara piano atau gitar yang dimainkannya sering membuat hatiku gembira dan perasaanku terasa ’hidup’. Kesadaran untuk menjalankan perintah agamanya sedikit banyak mengurangi kekhawatiranku dengan pergaulan yang tidak betul di luar sana...

Dia diambang kedewasaan. Aku sudah lama tidak memeluknya, tapi aku yakin kami dekat hati. Kami alhamdulillah masih tetap bicara dari hati ke hati. Ketika aku pernah merasa sangat down, dengan sikapnya yang sedikit kaku (tidak selembut adiknya), dia mengatakan padaku,’bu, jangan menyerah dan putus asa...’. Begitu banyak nasihat yang kuberikan padanya, ...jangan mengganggu pria yang sudah berpasangan, baik yang baru pacaran apalagi sudah beristri, karena ibu tidak akan meridloi tindakanmu.... Dia berjanji, aku akan mengingat nasihat ibu. Dia sekarang sering pulang malam, dan sering ku sms dia, ’Lia, kamu sering pulang malam sekarang, tolong jaga keselamatanmu, jaga kehormatanmu....’ Dia mengatakan, insya Allah,.... Secara tidak langsung dia sering menasihatiku juga. Kadang dia memberiku masukan kalau adiknya sudah susah diatur, tulisan-tulisannya sering memberiku kesadaran yang lebih baik mengenai sesuatu. Aku pernah menemukan tulisannya yang nggak selesai....... Memaknai hidup. Oke. Sebenarnya apa definisi dari memaknai hidup? Memaknai hidup, bagi saya berarti mengetahui makna dan tujuan kehidupan. Dengan definisi seperti itu, menurut saya memaknai hidup itu perlu. Mengapa? Karena jika kita tidak tahu apa sebenarnya hidup itu, untuk apa kita hidup, apa yang dicari dalam hidup, maka selama kita hidup, kita hanya akan ‘nyampah’ mengalokasikan waktu di kehidupan kita yang singkat ini untuk hal-hal yang tidak berguna........ Aku mengakui kebenaran tulisannya itu.
Belum berapa lama ini dia menulis di Fbnya....orang bodoh enggan memaafkan maupun melupakan kesalahan, orang naif selalu siap memaafkan dan melupakan kesalahan, orang bijak mau memaafkan tapi tidak melupakan kesalahan......Entah kulakan dari mana kata-kata itu, tapi sekali lagi aku mengakui kebenarannya, dan itu mendorongku untuk memaafkan meskipun tidak pernah melupakan kesalahan....

Dia amanah Allah buatku. Aku ingin mengantarnya sampai gerbang kedewasaan, sampai dia mengambil keputusan untuk mengembangkan kehidupan dan keluarganya sendiri. Selama Allah memberiku umur dan kesehatan yang baik, aku ingin mendampinginya atau melihat keluarganya bertumbuh, akupun ingin jadi ibu yang membuatnya bangga, ibu yang akan selalu dikenangnya dan dapat terus dapat menghibur dan membesarkan hatinya di kala senang dan sedih...... Semoga Allah SWT memberiku kesempatan untuk itu.....

Tidak ada komentar: